Mudahnya Memahami Skema Syariah
Beberapa tahun lalu saya bekerja disebuah koperasi. Ketika itu koperasi sedang membutuhkan dana talangan segar. Kami pun sepakat untuk mencari dana pinjaman ke Bank syariah yang saat itu lagi hangat-hangatnya jadi perbincangan masyarakat. Kami memilih bank syariah tentu saja karena sistem bagi hasil yang menjadi landasan akadnya. Tapi ibarat pepatah, pucuk dicinta, ulampun tak tiba. Pimpinan koperasi yang bernegoisasi dengan pihak bank tidak menemukan kata sepakat. Dana yang sedianya akan mereka gulirkaN, harus dibayar dengan bunga lumayan tinggi untuk ukuran koperasi kecil kami. Rasanya kecewa dengan kenyataan itu. Bank syariah yang kami harapkan bisa membantu meringankan kebutuhan masyarakat kecil ternyata tak berbeda dengan bank konvensional.
Lewat
media blog ini, saya ingin berbagi informasi, agar masyarakat mengenal lebih dekat
perbankan syariah serta istilah dalam skema keuangan syariah,
khususnya bagi calon nasabah bank syariah sehingga
masyarakat tidak keliru dalam menentukan pilihan, bank syariah mana yang
benar-benar menerapkan prinsip syariah dalam transaksinya.
Secara
eksplisit kelahiran perbankan syariah ditandai lahirnya Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenankan bank untuk melakukan usahanya
berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan penyediaan jasa perbankan berdasarkan prinsip bagi
hasil. Usaha bank tersebut dapat diusahakan oleh Bank Umum maupun Bank
Perkreditan Rakyat. Dalam hal ini Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menggunakan
penamaan bank berdasarkan “prinsip bagi hasil” untuk menyebut bank Islam
(Islamic Bank). Setelah lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank Islam
tidak lagi dinamakan dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil, tetapi dengan
nama baru, yakni “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Selanjutnya, Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 dikatakan bank sekaligus dapat menjalankan pola pembiayaan dan kegiatan
lain berdasarkan prinsip syariah. Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah
Mandiri merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya
pada prinsip syariah.
Pada
prinsipnya Bank Syariah dengan Bank
Konvensional memiliki persamaan, khususnya dalam hal teknis penerimaan uang,
mekanisme transfer, teknologi, maupun lainnya seperti NPWP, laporan keuangan
dan sebagainya. Sementara perbedaannya terletak pada aspek legal, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja (Antonio Syafi’i, 2001:
29). Tentu saja selain bunga riba yang memang diharamkan dalam Islam, dengan
komposisi ‘’bagi hasil’’ keadilan menjadi prinsip peruntungan bagi pihak bank
maupun nasabah. Lebih lanjut, Antonio mengatakan bahwa akad yang dilakukan
memiliki konsekuensi dunia dan akhirat, karena dilakukan berdasarkan hukum
Islam. Hal lain yang berbeda dengan bank konvensional, jika terdapat
perselisihan antara bank dengan nasabah pada perbankan Syariah, kedua belah
pihak tidak menyelesaikan masalahnya di pengadilan negeri, tetapi
menyelesaikannya sesuai dengan tata cara dan hukum materi Syariah. Lembaga ini
dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang
didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Asas-Asas Syariah
Seperti dijelaskan diatas, hukum Islam
atau asas-asas syariah menjadi acuan baku bank syariah dalam
melakukan berbagai aktifitasnya. Asas-asas dalam perjanjian Syariah berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini
tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya
perikatan/perjanjian yang dibuat.. Asas-asas perjanjian Syariah tersebut bisa
dijelaskan sebagai berikut
a. Al-Hurriyah(kebebasan)
merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam artinya pihak yang
melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian (fredoom of making
contract) baik mengenai obyek perjanjian misalnya yang akan dimiliki konsumen
adalah sebuah mobil mewah. Persyaratanpersyaratan misalnya pembayaran angsuran
selama 24 bulan, tempat penyerahan barang dan lain-lain, termasuk menetapkan
cara-cara penyelesaian apabila terjadi sengketa. Asas ini menghindari semua
bentuk paksaan, tekanan, dan penipuan dari pihak manapun.Adanya pemaksaan bagi
pihakpihak yang melakukan perjanjian, maka legalitas perjanjian yang dilakukan
bisa dianggap meragukan bahkan tidak sah.
b. Al-Musawah (persamaan dan kesetaraan) yang
memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai
kedudukan yang sama sehingga pada saat menentukan hak dan kewajiban
masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan.
c.
Al-Adalah (keadilan) dalam operasionalnya, para pihak yang melakukan akad
dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi
semua perjanjian yang mereka buat. Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan
Al-Qur'an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral, bahkan
Al-Qur'an menempatkan keadilan lebih dekat kepada takwa.
d.
Al-Ridha (kerelaan) yaitu segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar
kerelaan antara penjual (bank) dan pembeli (konsumen), jika dalam tranksaksi
tidak dipenuhi asas ini, maka sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara
yang batil. Tranksaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai
sebuah bentuk usaha yang saling rela antara pelakunya jika didalamnya ada
tekanan, paksaan, dan penipuan. Jadi asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan
dalam proses tranksaksi dari pihak manapun.
e.Ash-Shidq (kejujuran dan kebenaran) merupakan nilai etika dalam Islam. Nilai
kebenaran memberikan pengaruh pada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk
tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Pada saat asas ini tidak
dijalankan olehpenjual dan pembeli dalam perjanjian Islam, maka akan merusak
legalitas akad yang dibuat. Dimana pihak yang merasa dirugikan karena pada saat
perjanjian pihak lainnya tidak berdasarkan pada kejujuran dan kebenaran, dapat
menghentikan proses perjanjian tersebut.
f.
Al-Kitabah (tertulis) yaitu akad yang dibuat oleh pihak-pihak harus dilakukan
dengan melakukan Kitabah (penulisan perjanjian, terutama tranksaksi dalam
bentuk kredit, juga diperlukan saksi-saksi) dan prinsip tanggung jawab
individu.
Skema
Syariah
Skema
syariah (prinsip syariah) adalah produk perbankan syariah berupa pembiayaan
maupun pengumpulan dana yang harus menjadi landasan dalam setiap melakukan
aktifitas perbankan. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU No.10 Th.1998 ’’Prinsip
Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) ‘’
Mudharabah
Mudharabah
adalah perjanjian pembiayaan usaha bersama dimana bank sebagai penyedia modal
sedangkan nasabah menjadi pengelola dana, dimana keuntungan dan kerugian dibagi
menurut kesepakatan di muka dengan sistem bagi hasil . Jika pihak bank
memberikan kewenangan penuh kepada nasabah dalam menentukan jenis dan tempat
investasi maka skema ini disebut Mudharabah Muthlaqah. Sebaliknya jika
bank memberikan kewenangan secara terbatas kepada nasabah adalah Mudharabah
Muqayyadah.
Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian pembiayaan, dimana Bank
dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola
secara bersama atas prinsip bagi hasil. Secara
spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana,
barang perdagangan (trading
asset), kewiraswastaan (entrepreneurship),
kepandaian (skill),
kepemilikan (property),
peralatan (equipment)
, atau intangible asset
(seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit
worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan
uang.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Misalkan, jika nasabah ingin mengelola sepetak sawah, baik dalam akad mudhabarah maupun musyarakah keuntungan dari hasil panen harus dibagi secara adil sesuai dengan kesepakatan. Disinilah harus ada itikad baik berupa kejujuran dari kedua belah pihak.
Murabahah
Murabahah berasal
dari kata ribhu (keuntungan)
adalah transaksi jual-beli di mana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian
bahan baku/modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah yang akan dibayar
kembali oleh nasabah sebesar harga jual (harga beli bank + margin keuntungan)
pada waktu yang telah ditentukan. Dalam transaksi ini barang diserahkan segera
setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara cicilan.
Contoh
: jika nasabah ingin melakukan usaha jual beli mobil, maka pihak bank akan
membiayai kebutuhan nasabah dengan membeli beberapa unit mobil yang diinginkan
kepada pihak ketiga. Setelah mobil tersedia, nasabah harus membayar harga mobil
kepada bank ditambah keuntungan dari harga beli yang telah disepakati dimuka.
Ijarah
Transaksi
ijarah dilandasi
adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan
prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila
pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek
transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang
yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah wa iqtina (sewa
yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual
disepakati pada awal perjanjian. Misalkan jika pihak bank ingin menyewakan satu
unit kantor sebagai tempat usaha, maka diakhir masa sewa pihak bank boleh
melanjutkan akad sewa atau menjualnya kepada nasabah.
Wadiah
Wadi’ah
ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah)
kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain
(bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk
mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik
menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan
mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank)
dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan
dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu :
tabungan dan giro tidak berjangka.
Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis
simpanan ini yaitu:
- Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
- Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
- Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan tabungan.
- Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
- Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
- Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’âh (titipan) karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
Kesimpulan
Dimasa sulit seperti
saat ini, kehadiran perbankan syariah seharusnya bisa menjadi solusi dalam
mengurangi pengangguran dengan kemudahan pembiayaan usaha mandiri yang
berprinsip bagi hasil. Maka dari itu,
pentingnya memberikan pemahaman masyarakat tentang skema Syariah berikut aturan-aturan
yang tertuang didalamnya harus terus disosialisasikan baik oleh
pemerintah maupun pihak perbankan salah satunya lewat media blogger ini.
Leave a Comment