Dari Tetes Tebu Rakyat, Masa Depan Energi Indonesia Tercerahkan


Siapa coba yang nggak doyan minuman yang diperas dari saripati tebu? rasa segar dan manis alaminya tentu menjadi favorit semua orang. Apalagi dinikmati dingin-dingin kala terik menyengat, wuihh segarnya tiada terkira. Tanaman umbi batang itu, kini semakin  mudah kita temui di abang-abang penjual pinggir jalan. Hanya seharga tiga ribu perak, dahaga pun akan sirna dengan segera.

Teringat masa kecilku dulu, di daerah Malang selatan yang memang menjadi sentra penghasil tebu. Bila musim panen tiba, kampungku serasa surganya tebu. Dikiri kanan sepanjang jalan kampung dipenuhi rimbunnya tanaman tebu yang menggoda air liur. Puluhan trukpun berjejal dengan muatan penuh tebu menunggu giliran masuk ke pabrik gula yang juga tak jauh dari perkampungan. 

Untuk menikmati tebu yang paling nikmat kala itu, ya langsung dihisap dari bongkahan tebunya. Berbekal pisau kecil, sayat-sayat kulit tebu, lalu seratnya yang berair dan lumayan keras langsung dikunyah, tanpa takut ngilu di gigi. Kunyahan air tebu yang manis pun mengalir menyegarkan kerongkongan, nikmat. 

Sebagai tanaman umbi batang, tebu sesungguhnya telah dibudidayakan secara besar-besaran sejak masih zaman penjajahan. Buktinya, cukup banyak pabrik-pabrik gula peninggalan pemerintahan Belanda yang dibangun di Indonesia. Arsitektur dan bentuk bangunannya khas Belanda tempo dulu. Pabrik pabrik gula ini menyebar di berbagai pelosok Indonesia, khususnya di wilayah Jawa.

Menanam tebu memang bukanlah hal yang susah bagi warga kampung seperti kami. Karena tebu memang mudah hidup dan tumbuh subur dalam berbagai jenis tanah. Inilah salah satu kelebihan tanaman tebu dibandingkan beberapa tanaman lainnya. Tak pelak, menanam tebu merupakan usaha yang produktif dan menguntungkan, karena bisa di panen dua kali setahun. 

Karena gula merupakan salah satu kebutuhan utama manusia, maka petani tebupun tidak akan menemui kesulitan dalam menjualnya. Apalagi jika sudah bekerjasama dengan salah satu perusahaan (pabrik) gula, maka soal pemasaran bukanlah merupakan kendala. Begitu panen tiba, sang petani tinggal mengontak pabrik gula terdekat yang siap memborong areal tanaman tebunya.

Tahukah anda, kalau Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tebu terbesar di dunia. Menurut World Atlas, negara kepulauan ini menempati peringkat ke 8 dari 10 negara produsen tebu di dunia. Produksi pertahunnya mencapai 33 juta ton. Sebuah angka yang luar biasa besar.

Meskipun demikian bahwa pengelolaan pertanian dan berbagai sarana produksi gula di negara ini masih dianggap banyak pihak tidak maksimal. Faktanya hari ini Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gula.

Di lain sisi, data Food and Agriculture Organization (FAO), mencatat, bahwa produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 52,2 ton per hektare. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang mencapai 74,37 ton per hektar dan China yang mencapai 79,68 ton per hektare pada periode yang sama. Produksi on farm juga terhambat oleh konversi lahan dan petani yang beralih ke tanaman lain seperti padi. 

Kementerian pertanianpun melalui rilis resminya mengatakan, luas area lahan tebu kian menyusut dari 454,171 hektare sebelumnya di tahun 2015 menjadi 417,576 di tahun 2018. 

Sementara, berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) pada 2017, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare (ha). Jumlah itu lebih rendah daripada negara penghasil gula lainnya seperti India mencapai 70,02 ton per ha.

Terlepas dari kesemua hal itu, melihat betapa besar produksi tebu, Indonesia sesungguhnya memiliki sebuah sumber potensial untuk menemukan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil, salah satunya dari tetes tebu. 

Lalu apa saja keunggulan dari saripati tebu ini, mari kita telisik.

Dunia telah mengalami mencairnya permukaan es, meningkatnya suhu udara dan terjadinya bencana alam. Mungkin juga hati kita terasa pilu saat melihat pemberitaan mengenai bencana alam akibat efek domino penggunaan energi yang mengganggu siklus bumi. Perubahan iklim dari longsoran es di kutub, kenaikan permukaan air laut, kekeringan di sejumlah wilayah, gagal panen, topan siklon besar hingga banjir bandang yang menghancurkan pemukiman warga.

Ilmuwan mengemukakan bahwa salah satu alasan utama perubahan iklim yang drastis ini adalah akibat konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan dan terlepasnya gas rumah kaca ke atmosfir yang menipis.

Diperkirakan cadangan minyak bumi yang ada di bumi akan segera habis dalam masa 40-70 tahun ke depan. Hal ini sudah terasa di berbagai belahan dunia dengan sulitnya menemukan cadangan minyak bumi.

Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya populasi manusia tentunya sangat kontras dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosial. 

Bahkan, Indonesia sudah merasakan hal itu dimana posisinya sebagai salah satu negara pengekspor minyak telah berubah menjadi negara pengimpor minyak bumi.

Kebutuhan akan bahan bakar dan polusi udara yang terus meningkat mendorong ilmuwan untuk menciptakan sumber energi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif yang banyak dikembangkan adalah biodiesel. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar bukanlah hal yang baru, namun produksinya saat ini belum cukup untuk pemakaian massal. Oleh karena itu, ilmuan mengembangkan bahan baku untuk meningkatkan produksi biodiesel. 

Alhasil, para ilmuwan dari Department of Global Ecology, Carnegie Institution, di Palo Alto, Amerika Serikat, menemukan bahwa tanaman tebu mempunyai manfaat ganda. Masih menurut penelitian tersebut perluasan kebun tebu di lahan yang sebelumnya ditanami tanaman pangan terbukti menyejukkan iklim lokal di sekitarnya. Tanaman tebu tak hanya merefleksikan cahaya matahari kembali ke antariksa, tapi juga menurunkan temperatur udara sekitarnya ketika tebu "mengembuskan" air yang lebih dingin.

Penanaman tebu sebagai sumber bahan bakar hayati pada akhirnya berpotensi memberikan solusi saling menguntungkan bagi iklim. Menggunakan tetes tebu untuk menghasilkan bahan bakar kendaraan mengurangi emisi karbon, sedangkan menanam tebu menurunkan temperatur udara sekitar. 

Pengolahan tebu sebagai bahan baku biodiesel pun cukup mudah, caranya dengan menghancurkan tebu menjadi jus. Selanjutnya, dari jus tebu tersebut dapat diambil sekitar 90% gula dan 60% minyak dari tanaman. Lalu jus difermentasi untuk menghasilkan etanol dan kemudian diolah dengan pelarut organik untuk diambil minyaknya. Tim penelitipun telah mematenkan metode yang digunakan untuk memisahkan minyak dan gula.

Sayangnya di kita, tebu belum dianggap sebagai sumber penghasil bahan bakar alternatif yang potensial dan masih dianggap hanya untuk membuat gula saja. Yang ironisnya, masih harus diimpor dari luar negeri pula.

Lalu mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan Indonesia dimasa depan ? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi. 

Sebuah Investasi Masa Depan

Di beberapa negara,  seperti brasil, implementasi dari konsep energi hijau nan terbaharukan tengah menunjukkan hasilnya. 

Program bahan bakar etanol di Brasil yang sudah berjalan selama 30 tahun, berasal dari teknologi pertanian gula paling efisien di dunia. Mereka menggunakan peralatan yang modern dan tebu yang murah sebagai bahan mentah, selain itu ampas tebu juga digunakan untuk menghasilkan panas dan tenaga, yang akhirnya menghasilkan harga yang sangat kompetitif, dengan hasil yang sepadan.

Dengan mengambil asusmsi bahwa di masa depan bahan bakar fosil akan habis, naiknya permintaan energi, isu lingkungan hidup yang menyertai pendirian pembangkit nuklir yang beresiko dan berlimbah serta pencarian bentuk energi yang dapat menopang peradaban manusia seabadi mungkin tanpa dibarengi dengan potensi destruktif terhadap alam, maka energi hijau nan terbaharukan menjadi sebuah keniscayaan. 

Maka daripada itu, energi hijau menjadi sebuah isu penting manakalah orientasi warisan kepada anak cucu dan generasi mendatang menjadi acuan terlebih mengingat kehancuran lingkungan yang mengganas akhir-akhir ini. Melalui konsep energi hijau nan terbaharukan, ungkapan bahwa “negeri ini bukan warisan nenek moyang, namun merupakan titipan anak cucu kita” dapat dipahami.

Mulai dari sebuah gerakan serempak "kembali ke alam”. Reorientasi kebijakan dan penerapan teknologi dalam melihat hubungan alam-manusia dalam perspektif baru telah melahirkan aktifitas-aktifitas manusia yang harmonis terhadap alam. Alam dan manusia akhirnya memiliki semacam momentum untuk memperbaiki hubungan yang buruk di masa lalu. 

Pemanfaatan sumber energi semisal minyak bumi dan gas alam terutama pada sektor rumah tangga sebagai salah satu konsumen utama minyak bumi harus mulai ditinggalkan secara bertahap, bahkan harus mulai diproyeksikan untuk mengganti secara total keberadaan sumber energi yang habis pakai ini. Jelas dengan pengurangan konsumsi minyak bumi dan gas alam, banyak hal yang diperoleh; pengurangan emisi karbon dioksida, penghematan biaya, memperlambat akselerasi degradasi lingkungan, memperbaiki kualitas kesehatan serta memperpanjang kelestarian lingkungan, semoga. 








Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.