Melawan Kemiskinan, Mengungkap Realitas Di Negeri Emas

De Kleint Switzerland, wilayah yang dulu masuk administrasi Kab. Malang ini, kini menjelma menjadi raksasa wisata Jawa Timur. Dari dulu hingga kini pesona kota Batu tak pernah lekang oleh waktu. Gugusan Arjuna, Semeru dan hamparan pinus siap mengantar pengunjung menjajaki petualangan yang membuat kaki enggan beranjak pergi. Tak hanya Mengandalkan potensi alamnya yang aduhai, berbagai objek wisata berkelaspun terus bertumbuh seiring kebutuhan masyarakat akan suasana melepas penat nan nyaman namun tak melupakan unsur edukasi.

Pesatnya perkembangan sektor pariwisata di Kota Batu diikuti dengan tumbuhnya pelaku usaha mikro yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan perekonomian baik individu maupun keseluruhan (PAD) Kota Batu. Dalam kurun waktu 2007-2012 pertumbuhan ekonomi di Kota Batu, naik signifikan. Sektor perhotelan, restoran, dan pariwisata mampu menyumbang pendapatan sebesar Rp 193,23 miliar selama 5 tahun terakhir dari jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp 370,72 miliar tersebut atau sebesar 52 %. Keberhasilan dunia usaha di Kota Batu tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peranan dunia usaha yang sudah ada, baik skala kecil maupun skala besar. Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi adalah adanya iklim investasi yang baik ditunjang oleh produktifitas yang tinggi. Meski pertumbuhannya cukup menggembirakan namun sektor UKM di Batu belum diikuti dengan penataan manajemen dan pemasaran yang memadai akibatnya sekitar 14.000 UKM yang ada di Batu belum mampu bersaing di pasar luar Batu. Padahal pertumbuhan UKM di Batu termasuk cukup tinggi yakni mencapai ±300 UKM baru per tahun.

Kota Batu hanya sebagian contoh kecil dari keberhasilan pengembangan potensi lokal di era otonomi daerah. Sejalan dengan amanat GBHN bahwa arah dan tujuan pembangunan nasional harus dapat dimamfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan hasil yang dicapai harus dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Tujuan pembangunan tersebut erat kaitannya dengan upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Masalah kemiskinan (poverty) atau sering pula disebut dengan lingkaran setan kemiskinan ( visious circle of poverty )merupakan sesuatu yang kompleks yang dihadapi hampir semua negara berkembang termasuk Indonesia.
Kemiskinan menyangkut seluruh dimensi kebutuhan manusia yang sifatnya beragam yaitu miskin sumber daya, miskin produktivitas, miskin pendapatan, miskin tabungan dan miskin investasi. Dipandang dari sisi ekonomi kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pada kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan perbedaan akses dalam modal serta rendahnya kesempatan kerja yang ada. Tingginya tingkat kemiskinan menjadi indikator bahwa masyarakat belum berperan menjadi subjek dalam pembangunan. Ironisnya, Lebih dari separuh penduduk miskin Indonesia justeru berada di Pulau Jawa. Sebanyak 14,83 juta jiwa atau atau sekitar 53 persen penduduk miskin terkonsentrasi di Pulau Jawa dari total penduduk miskin per September 2016. Jumlah penduduk miskin terbesar kedua berada di Pulau Sumatera, yaitu sebanyak 6,21 juta jiwa atau sekitar 22,4 persen.

TABEL

Walaupun secara kasat mata terlihat penurunan angka kemiskinan dari kisaran11,13 persen dari September 2015 menjadi 10,7 persen pada September 2016, namun angka-angka harapan itu belum bisa memberi angin segar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mengalami peningkatan sekitar 5 persen. Untuk menekan angka kemiskinan menjadi satu digit atau di bawah 10 persen dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sebesar 5,1 persen.
TABEL

Kekhawatiran mengenai kemiskinan kian menjadi-jadi seiring tingginya angka pengangguran, baik pengangguran terbuka maupun terselubung. Pada 2015, sekitar 37 persen penduduk miskin di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap. Selain itu, 47 persen hanya bekerja pada sektor informal seperti wiraswasata, buruh lepas, ataupun pekerja bebas. Artinya, sektor ini bekerja pada lingkungan kerja yang tidak resmi. Hanya sekitar 15 persen penduduk miskin yang dapat merasakan bekerja di sektor formal seperti karyawan atau pegawai resmi. Untuk menyerap seluruh angkatan kerja baru setidaknya dibutuhkan pertumbuhan 8% dari Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya berada di kisaran 5%.

TABEL
Rendahnya tingkat pendidikan turut pula menjadi imbas beratnya persaingan dalam dunia kerja. Di tahun yang sama, sekitar 52 persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD/SMP. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu menempuh jenjang Sekolah Dasar. Hanya 16,7 persen penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA atau lebih tinggi.
TABEL
Penduduk miskin yang berada di sekitar garis kemiskinan ( transient poor ) akan terus bertambah sejalan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Penduduk miskin seperti ini bisa saja ditolong dengan bantuan yang berasal dari bermacam dana kompensasi yang diberikan pemerintah, karena pada dasarnya mereka memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan memperbaiki kondisi ekonominya. Namun untuk penduduk miskin yang sangat "parah" ( chronic poor ), dana bantuan berupa subsidi ataupun transfer langsung tidak akan dapat membawa mereka keluar dari kemiskinan. Karena, tidak menyelesaikan masalah sebenarnya, yaitu tidak adanya akses penduduk miskin terhadap faktor-faktor ekonomi sehingga sulit untuk merubah kondisi hidup mereka.

Kebijakan penurunan jumlah orang miskin telah menjadi komitmen dalam tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs), yang telah di deklarasikan dan ditandatangai oleh 189 negara termasuk Indonesia sejak 10 September tahun 2000. Salah satu tujuan utamanya dari delapan program yang dideklarasikan tersebut adalah tekad dan komitmen untuk mengurangi jumlah penduduk miskin menjadi separuh pada tahun 2015. Kemudian, pada 10 September 2005 program MDGs tersebut telah diadakan evaluasi dan ditargetkan sebanyak 18 goals baru yang didasarkan pada ketersediaan data yang dapat didokumentasikan negara untuk mengukur kemajuan internasional, sehingga pada tanggal dan tahun tersebut yang kini sering dikenal sebagai Hari Gelang Putih Internasional ke dua.

Bank Dunia lewat laporannya World Development Report on Property turut mendeklarasikan bahwa suatu peperangan melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front yaitu pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya, pengembangan SDM (pendididkan, kesehatan dan gizi) serta membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang sama sekali tidak mampu untuk mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan kesempatan pengembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial dan terisolasi secara fisik.

Kondisi “ketidakberdayaan” ini dapat diatasi dengan mendorong terjadinya investasi produktif. Untuk sampai pada tujuan tersebut rakyat harus memiliki modal material dan mental. Hal ini yang menjadi inspirasi perlunya pemberdayaan ekonomi rakyat yang kemudian berkembang untuk membangun sistem perekonomian bercorak ekonomi kerakyatan. Pemberdayaan masyarakat mengacu pada empowerment yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat dengan menekankan pada arti pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self -reliant communities) sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir dirinya sendiri. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi sebagai upaya (effort) untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.



UMKM sebagai investasi produktif, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam struktur perekonomian Indonesia, UMKM merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang produktif, yang keberadaanya mendominasi lebih dari 99% dalam struktur perekonomian nasional. Pada awalnya, keberadaan UMKM dianggap sebagai sumber penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan motor penggerak utama pembangunan ekonomi daerah di pedesaan. Namun, pada era globalisasi saat ini dan mendatang, peran UMKM semakin penting yakni sebagai salah satu sumber devisa ekspor non - migas Indonesia.

Jika dicermati lebih mendalam keberadaan UMKM cukup dilematis. Di satu sisi keberadaanya dianggap sebagai penolong karena lebih mampu bertahan di masa krisis ekonomi serta menjadi tumpuan harapan masyarakat. Karena keberadaannya mampu banyak menyediakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan arus urbanisasi serta motor penggerak pembangunan nasional dan daerah. Di sisi lain, sektor ini juga dihadapkan berbagai permasalahan antara lain dari aspek permodalan, kemampuan manajemen usaha, dan kualitas sumberdaya manusia pengelolanya. Kendala dan permasalahan usaha kecil dan informal lainnya juga disebabkan karena sulitnya akses terhadap informasi dan teknologi, yang berakibat menjadi terbatasnya kemampuan usaha kecil untuk berkembang.

Dalam rangka pengembangan usaha kecil ini diperlukan informasi yang lengkap, mudah dan cepat dapat di "akses", terutama informasi potensi suatu sektor usaha ekonomi atau komoditas untuk dikembangkan pada suatu wilayah (Kecamatan) tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangannya, serta prospek pengembangan program kemitraan terpadu untuk sektor usaha atau komoditas tersebut. Program aksi penumbuhan iklim usaha kondusif bertujuan untuk memfasilitasi terselenggaranya kondisi lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi, sehat dalam persaingan, dan tidak adanya diskriminasi bagi kelangsungan dan peningkatan kinerja usaha UMKM. Program ini berupaya mewujudkan lingkungan usaha yang kondusif bagi pengembangan UMKM pada berbagai tingkat pemerintahan.


Penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang disusun di pemerintah pusat, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004). Otonomi daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah kabupaten dan kota, serta pemerintah desa. Menjadi harapan bersama upaya keras dan komitmen nyata pemerintah dalam peningkatan fungsi dan peran UMKM, baik dalam bentuk pemberdayaan yang secara empowering, enabling maupun effort, semoga


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.