Say No To Bullying, Ketika Diam Bukan Lagi Emas
![]() |
ilustrasi bullying : http://indowarta.com |
Selembar
kertas ulangan itu hanya mampu dipandangnya sekilas. Tatapan matanya kosong tak
bergairah. Ide-ide kreatif yang selama ini memenuhi isi kepalanya kini
menghilang entah kemana. Waktupun berjalan terasa lambat. Tak sinkron dengan irama jantungnya yang
berdetak sangat cepat. Pikirannya kian limbung, tak kuat lagi mengingat luka
batinnya yang dia pendam selama berulan-bulan lamanya. Hingga sampai pada satu
titik, ancaman demi ancaman yang selama ini terus meneror hidupnya, harus
berakhir dimeja persidangan.
Seperti
malam-malam horror sebelumnya. Demi untuk menegaskan dominasi sang ‘’nyai’’, mereka
yang dianggap pembangkang terhadap aturan yang dibuat, harus bersiap menerima
konsekwensi, diadili secara terbuka layaknya narapidana dihadapan para pimpinan
asrama. Menyakitkan, sudah pasti. Tak sampai disitu, para belia yang semestinya
sedang berproses menuju pendewasaan dan butuh bimbingan tersebut harus menerima
kenyataan pahit, dikucilkan lingkungan. Diam,
tak ada yang berani melawan. Hanya sesekali terdengar isak tangis dari
kamar-kamar yang murung. Dalam hitungan hari merekapun, para korban bully itu angkat
kaki dari asrama dan tak pernah kembali lagi termasuk sahabat yang amat
disayanginya.
Titik-titik
air mata itu kembali berjatuhan. Kertas ulangan dihadapannya masih putih bersih.
Kelas telah lama ditinggal penghuhinya. Sepi, tinggallah dia dan perempuan diseberang meja
yang masih menatapnya keheranan. Bersamaan dentang bel terakhir, secepat itu
pula tangannya menggores jawaban dengan sangat ngawur.
***
Fenomena
bullying diatas adalah kisah
nyata yang terjadi di sebuah sekolah berasrama. Ibarat fenomena gunung es,
kasus bullying yang nampak “kecil” di permukaan, namun menyimpan berbagai permasalahan
dikemudian hari. Yang
lebih memprihatinkan, tindak bullying nyaris
sudah terjadi di banyak sekolah maupun perguruan tinggi selama bertahun-tahun. Bullying seakan telah menjadi `bagian
hidup' pelajar. Dunia
pendidikan yang sejatinya adalah tempat menempa tunas-tunas bangsa, nyatanya
bukan lagi menjadi media yang nyaman untuk mengatur irama masa depan. Banyaknya kasus bullying di lingkungan sekolah, tentunya
menjadi concern tersendiri
berkaitan dengan arah sistem pendidikan di tanah air.
Sebuah riset yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW)
yang di rilis awal maret 2015 menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan
anak di sekolah. Di tingkat Asia, kejadian bullying pada siswa di sekolah mencapai angka 70%. Penelitian
ini juga menyebutkan bahwa 84% siswa di Indonesia mengalami kekerasan di
sekolah. Angka tersebut lebih tinggi sebanyak 14% dari tren kawasan Asia. Riset
yang di lakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan dan
Indonesia yang di ambil dari Jakarta dan Serang, Banten ini diambil pada
Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun,
guru, orang tua, kepala sekolah, dan perwakilan LSM.
Sementara, Menurut Komisi
Perlindungan Anak (KPAI), kasus bullying
di sekolah menduduki tingkat teratas pengaduan masyarakat ke komisi
perlindungan anak (KPAI) di sektor pendidikan. Dari 2011 sampai agustus 2014,
KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah tersebut sekitar
25 % dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Kasus yang
di laporkan hanya sebagian kecil dari kasus bullying yang terjadi, tidak sedikit tindak kekerasan terhadap
anak yang tidak di laporkan.
Sebagian
orang mungkin berpendapat bahwa perilaku bullying tersebut merupakan hal sepele
atau bahkan “normal” dalam tahap kehidupan manusia atau dalam kehidupan
sehari-hari. Faktanya, perilaku bullying merupakan “learned behaviors” karena
manusia tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying
merupakan perilaku tidak “normal”, tidak sehat dan secara sosial tidak bisa
diterima. Hal yang sepele pun kalau dilakukan secara berulang kali pada
akhirnya dapat menimbulkan dampak serius dan fatal. Dengan membiarkan atau
menerima perilaku bullying, kita memberikan “bullies power” kepada pelaku
bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan budaya
kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan
potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya unggul.
Bullying pada remaja, seperti tindak kekerasan
lainnya, memiliki dampak bagi korban dan pelakunya. Bukan hanya dampak fisik,
namun juga dampak psikologis, seperti rendahnya harga diri, ketakutan akan
masuk sekolah, timbulnya depresi, perasaan kesepian, hingga berujung pada
tindakan bunuh diri. Yayasan SEJIWA mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat
sejumlah 34 kasus bunuh diri karena bullying
pada tahun 2011 lalu dan jumlahnya meningkat hingga dirawat di rumah
sakit jiwa pada tahun 2012. Dampak ini bukan hanya bersifat jangka pendek,
namun beberapa penelitian menemukan bahwa perilaku bullying akan berdampak hingga dewasa. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pelaku bullying, akan
berisiko memiliki kasus kriminal di kemudian hari dan beberapa korban bullying hingga dewasa akan lebih
rentan terkena depresi. Penggunaan kekerasan dan tindakan yang berlebihan dalam
usaha mendisiplinkan anak-anak oleh orang tua, pengasuh, dan guru secara tidak
langsung turut pula mendorong perilaku buli di kalangan anak-anak. Anak-anak
yang mendapat kasih sayang yang kurang, didikan yang tidak sempurna dan
kurangnya pengukuhan yang positif, berpotensi untuk menjadi pembuli.
Penelitian SAMHSA (Substance Abuse and Mental Health Services
Administration, 2004) menyimpulkan bahwa pertama, faktor keluarga
memiliki potensi untuk membentuk perilaku anak dan memperkuat atau melemahkan
kemampuan anak dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya. Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku bullying pada remaja adalah media.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa pengaruh media dalam
perilaku bullying sangat
menentukan, di dapatkan 56, 9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya
mereka meniru gerakan (64%) dan kata-kata sebanyak (43%). Berdasarkan data
tersebut dapat diketahui bahwa televisi memiliki peranan penting dalam
pembentukan cara berfikir dan berperilaku. Hal ini tidak hanya terbatas pada
media televisi saja, namun juga dalam semua bentuk media yang lain. Remaja yang
terbiasa menonton kekerasan di media cenderung akan berperilaku agresif dan
menggunakan agresi untuk menyelesaikan masalah
Faktor yang ketiga adalah faktor iklim sekolah. Sekolah memegang peranan
penting dalam membentuk anak menjadi pelaku bullying. Iklim sekolah yang positif berhubungan dengan
rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Sebaliknya, Iklim sekolah yang
menyebabkan munculnya perilaku bullying
adalah sekolah yang memiliki ketidakjelasan standar perilaku, tidak ada
kebijakan anti-bullying, warga
sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan, warga sekolah yang menghina
murid di depan teman-temannya dan lain-lain.
Dalam ranah hukum, bullying sudah dikategorikan sebagai
suatu tindakan pidana. Bullying dianggap
melanggar Undang-Undang dan Hak Asasi Anak bahkan pelaku bullying seharusnya mendapatkan
sanksi pidana. Salah satu UU yang tidak membenarkan adanya bullying adalah Undang-Undang
Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 54: “Anak di dalam dan di lingkungan
sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru,
pengelola sekolah, teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau
lembaga pendidikan lainnya”
SAY NO TO BULLYING
Dalam kasus bullying, pemberian
perlindungan bagi saksi dan korban (terutama anak) dari suatu tindak pidana
adalah bagian dari proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan posisi saksi dan
korban adalah kunci untuk mewujudkan peradilan yang seadil-adilnya. LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban)
sesuai dengan perundangan pasal 13 tahun 2016 adalah lembaga independent yang
dapat memberikan perlindungan saksi dan korban (temasuk pelanggaran HAM berat) mulai
dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
dipersidangan maupun setelah proses peradilan selesai sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan. LPSK juga dapat memberikan bantuan medis dan psiko –
sosial (Pasal 6) dan selanjutnya korban melalui LPSK dapat mengajukan
permohonan kompensasi dan restitusi ke pengadilan (Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3).
Selain itu, LPSK juga dilengkapi oleh sebuah peraturan pemerintah nomor 44
tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan kepada saksi dan
korban.
Didalam menjalankan perannya terhadap perlindungan anak di
Indonesia, LPSK juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang
mendukung kegiatan perlindungan anak, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dan
Masyarakat dalam mewujudkan perlindungan anak dari berbagai tindakan
eksploitasi, kekerasan hingga bullying. Perlindungan anak yang berkelanjutan
merupakan gagasan yang baik di dalam melaksanakan perlindungan anak Indonesia,
dengan konsep berkelanjutan akan membawa tindakan yang terus menerus secara
berkesinambungan dan tidak ada titik hentinya.
Meski telah ada payung hukum yang
tetap termasuk sangsi bagi pelaku bully, pada prakteknya tidak mudah menghentikan
perilaku bullying. Hal tersebut karena kadang korban merasa tidak sedang
mendapat perlakuan bullying. Selain itu juga karena lingkungan menganggap
bullying sebagai hal yang wajar. Dukungan orang-orang sekitar pelaku sangat
penting supaya hal tersebut tidak terus terjadi. Orang tua dan guru juga harus
tahu terhadap bullying. Korban harus survive atas dirinya sendiri agar tidak
terus menerus menjadi korban dan harus berani melapor apabila mengalami
bullying. Semakin lemah semakin ditindas. Butuh konselor untuk memulihkan yang
sudah parah. Keterlambatan dalam menangani bullying yang telah sekian lama
terjadi karena korban enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib dan orang
terdekatnyapun takut atau enggan melakukan intervensi terhadap bullying tersebut,
kemungkinan besar mereka kelak akan menindas anak mereka sendiri, gagal dalam
hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan dan berakhir di penjara.
Dilandasi fenomena tersebut di atas,
mengembangkan program “Say No To
Bullying” di setiap sekolah menjadi keharusan yang diharapkan dapat
memperjelas dan mengubah persepsi remaja dan masyarakat untuk memahami bahwa bullying bukanlah tindakan yang
biasa, namun bullying penting
untuk menjadi perhatian bersama. Pemahaman akan bullying yang diberikan adalah berkisar tentang pengertian,
dampak-dampak, penyebab, dan bentuk-bentuk bullying. Pemberian program “Say No To Bullying” difokuskan bukan hanya untuk pelaku, namun
juga korban dan observer.
Pelaku bullying diharapkan mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai bullying dan mengetahui dampak-dampak
bullying sehingga tidak
melakukan bullying lagi. Korban
bullying juga dapat memiliki
pengetahuan problem solving dan
mengelola emosi dengan cara yang positif untuk mengatasi kemarahan atau
kesedihan yang berlebihan. Ketrampilan mengelola emosi kiranya penting bagi
korban bullying untuk mengatasi
kemarahan atas ketidakadilan dalam pertemanan. Bagi observer bullying setelah mendapatkan pengetahuan baru
diharapkan akan menjadi lebih peka lagi terhadap tindakan bullying dan mampu menjadi penengah
antara korban dan pelaku dengan cara-cara yang positif dan bersahabat.
Referensi :
Leave a Comment