Terapan Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Ikhtiar Dalam Meretas Pendidikan Inklusi di Indonesia

Hasil gambar untuk gambar sekolah ramah anak pdf
https://www.youtube.com/watch?v=jvpdt9kOkac
Sejak era reformasi, mutu dan pemerataan pendidikan merupakan masalah yang mendapat perhatian serius pemerintah. Peningkatan mutu pendidikan khususnya di sekolah dasar diarahkan untuk meningkatkan kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya serta peningkatan mutu peserta didik. Dengan peningkatan kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang ditandai dengan peningkatan prestasi belajar siswa sesuai dengan batas ketuntasan belajar baik secara individual maupun secara klasikal. Sementara peserta didik atau siswa sebagai orang yang menjadi fokus dalam bidang pendidikan perlu ditingkatkan kemampuannya sesuai dengan perkembangan pribadinya sehingga mendapat bekal untuk hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. 

Salah satu kebijakan strategis pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS tersebut merupakan pendekatan manajemen yang harus diterapkan oleh sekolah dasar sebagai bagian dari satuan pendidikan dasar berdasarkan standar pelayanan minimal. Penerapan MBS di sekolah mendorong sekolah harus secara aktif, mandiri, terbuka, dan akuntabel melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri dengan disertai pembuatan keputusan secara partisipatif. Manajemen berbasis sekolah pada dasarnya mengembangkan manajemen sekolah secara menyeluruh dengan penekanan pada komponen-komponen tertentu. Manajemen berbasis sekolah yang sudah diimplementasikan sejak tahun 1999 diprioritaskan pada 3 pilar yaitu manajemen, PAKEM dan peran serta masyarakat. 


https://twitter.com/i/web/status/886942599298244608
Manajemen Sekolah
Berkontribusi pada pencapaian pengelolaan sekolah yang transparan dan efisien dan tidak mengecilkan partisipasi anak-anak dalam pengambilan keputusan 

PAKEM Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan Kegiatan belajar-mengajar dan interaksi yang positif antara guru dan siswa di sekolah 

Partisipasi Masyarakat Keterlibatan langsung orangtua dan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan pemahaman dan komitmen terhadap Hak-Hak Anak

Dalam konteks ini, maka aspirasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah diakomodasi dalam berbagai kepentingan yang ditujukan pada peningkatan kinerja sekolah, antara lain direfleksikan pada rumusan, visi, misi, program prioritas dan sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam pengembangan sekolah.  Karakteristik masing-masing sekolah dicerminkan pula dalam kondisi sarana prasarana pendidikan, mutu sumber daya manusianya dan dukungan pembiayaan bagi pengembangan sekolah sesuai dengan aspirasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah (stakeholder). Dalam kondisi demikian, maka realisasi gagasan manajemen berbasis sekolah akan melahirkan kepemilikan para stakeholder terhadap sekolah. Kondisi ini sangat penting, karena sikap kepemilikan inilah yang akan mendukung pengembangan keunggulan kompetetitif dan komparatif masing-masing sekolah.

Mengapa Harus MBS?

Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan selanjutnya serta merupakan modal dasar bagi pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas yang memungkinkan dapat menikmati hidup dan kehidupannya secara mandiri. Kemandirian dapat diciptakan melalui proses pembelajaran yang memberi kebebasan kepada peserta didik untuk selalu aktif berpendapat dan bertanya, selalu diberi peluang untuk inovatif atau mengkaji sesuatu yang baru, kreatif untuk membuat sesuatu yang baru dari berbagai sumber, menghargai perbedaan pendapat, dan peka terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Inilah yang disebut learning how to learn yaitu pendidikan yang diselenggarakan dengan cara peserta didik belajar bagaimana mereka harus belajar sehingga hasil belajar yang mereka peroleh menjadi lebih bermutu.

http://disdiktabalong.net/2016/02/04/874/

Sejalan dengan seruan UNESCO dalam International Education for All (EFA) sebagai kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Senegal pada tahun 2000. Forum yang merupakan followup dari konvensi hak asasi manusia ini melahirkan deklarasi “Education for All” yang menargetkan bahwa pada tahun 2015 semua anak di dunia harus mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar.  Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut telah meratifikasi dalam kebijakan Wajib Belajar 9 tahun yang dijabarkan dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 mengatur tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa negara menjamin sepenuhnya pendidikan bagi setiap anak termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam memperoleh kesempatan dan layanan pendidikan yang bermutu, salah satunya melalui sekolah berbasis inklusi.

Pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusi mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusi juga dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dalam merespon spekturm kebutuhan belajar peserta didik yang lebih kompleks, dengan maksud agar baik guru maupun siswa, keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar,bukan sebagai hambatan. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.

Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, namun tetap diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inklusi sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special esucation). Konsep yang mendasari pendidian inklusi sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendikan khusus (special education). Pendidikan inklusi bukanlah istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusi mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang perbaikan sekolah (schools improvement)

Dalam perspektif pendidikan luar biasa, pendidikan inklusi akan berhasil dengan baik apabila didukung dengan: (1) sikap, komitmen, dan keyakinan yang positif dari seluruh guru, staf sekolah dan orang tua, (2) ketersediaan layanan khusus dan adaptasi lingkungan fisik dan peralatan, (3) sistem dukungan, seperti ketersediaan guru khusus, terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang cacat, termasuk untuk asesmen dan evaluasi, (4) adanya kolaborasi harmonis antara guru khusus dan guru kelas dalam merancang dan menerapkan Program Pengajaran yang diindividualisasikan (individualized educational program - IEP), (5) kurikulum fleksibel dan metode pembelajaran yang tepat, serta (7) kesadaran, partisipasi, dan dukungan masyarakat. 

Fakta di lapangan menunjukkan, sekalipun sudah banyak sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi, tetapi dalam implementasinya masih banyak yang belum sesuai dengan konsep-konsep yang mendasarinya. Bahkan, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan-kesalahan praktek, terutama terkait dengan aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, serta kurikulum dan pembelajaran. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education), Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan dan permasalahan yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusi itu sendiri. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa sekolah yang secara resmi telah berpredikat sebagai sekolah inklusi, bahkan sekolah percontohan sekalipun, belum menjamin bahwa sekolah tersedut telah melaksanakan pendidikan inklusi secara benar dan baik sesuai dengan konsep-konsep pendidikan inklusi yang mendasarinya. 

Di sisi lain, masih Terdapat perdebatan dalam penerapan pendidikan inklusi ini, baik dari pihak sekolah, pengajar serta orang tua murid terhadap manfaat pendidikan inklusi bagi siswa ABK dan siswa non ABK. Pihak yang pro terhadap penerapan pendidikan inklusi, meletakkan argumennya pada filosofi dan moral akan kebebasan, kesempatan yang sama untuk memperoleh akses pendidikan pada semua anak terlepas dari apapun kondisi yang ada, serta dampak positif pada perkembangan akademis dan sosial pada siswa ABK dan non ABK. Sedang dari pihak yang kontra meletakkan argumennya pada kesiapan sekolah, pengajar serta siswa dalam penerapan pendidikan inklusi serta tidak terlihatnya dampak positif yang signifikan pada perkembangan akademis dan sosial pada siswa ABK dan non ABK, malah cenderung menimbulkan hambatan pada perkembangan kedua golongan siswa. Khusus untuk siswa non ABK, perdebatan manfaat pendidikan inklusi bagi siswa non ABK dilatar belakangi oleh aspek tujuan yang harus diperhatikan sekolah dan pengajar di saat yang bersamaan. Aspek pertama yaitu memenuhi standar yang tinggi pada pencapaian akademis dari sekolah dan negara, sedangkan aspek kedua adalah penerapan pendidikan inklusi tidak boleh menganggu atau menurunkan pencapaian prestasi pada siswa non ABK baik secara akademis dan sosial.                           
Menjadi Sekolah berbasis inklusi tentunya membutuhkan berbagai adaptasi sistem dan dukungan fasilitas yang berbeda dengan sekolah reguler lainnya. Sekolah yang mengimplementasikan ideologi pendidikan inklusif harus pula mengenal dan merespon setiap kebutuhan yang berbeda-beda dari setiap siswanya. Seperti mengakomodasi berbagai macam gaya belajar, serta menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa, melalui manajemen yang baik, penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber daya dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan orang tua maupun masyarakat sekitarnya. Untuk memenuhi itu semua, sekolah perlu diberikan kewenangan dalam mengatur beberapa urusannya sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Tanpa adanya otonomi ini, sekolah inklusif akan kesulitan dalam melaksanakan layanan pendidikan yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus. 

https://edufacounseling.com/implentasi-pendidikan-inklusi-di-sekolah/

Dalam ranah ini, manajeman berbasis sekolah erat kaitannya dengan kesiapan pengelola pendidikan  inklusi untuk melakukan perannya sesuai dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawabnya. Manajemen Berbasis Sekolah akan akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholders terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentukan kewenangan pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah. Inovasi kurikulum lebih menekankan kepada peningkatan kualitas dan keadilan, pemerataan, bagi semua peserta didik yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik dan masyarakat lingkungannya.

Sebagai Kesimpulan, bahwa pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangatlah penting untuk membenahi konsep pendidikan yang bermutu dan berdaya saing terutama dalam perkembangan zaman yang semakin mengglobal. MBS lahir untuk menunjang menyelenggarakan sistem belajar mengajar yang menghargai setiap potensi yang ada, serta diselaraskan dengan kondisi psikologi siswa, sehingga otak mereka akan sangat mudah untuk bekerja sama dalam proses pembelajaran dan proses belajar pun akan menjadi sangat optimal dan efektif. Budaya belajar harus menjadi “Petualangan seumur hidup” dan “Perjalanan eksplorasi tanpa akhir”, sehingga pertumbuhan seluruh kepribadian terintegrasi dengan nilai-nilai yang dipelajari. Dengan demikian “Belajar” akan menjadi sangat bermakna dan mampu mencetak pribadi-pribadi berkualitas yang lebih dikenal dengan konsep pendidikan ramah anak yang selanjutnya akan disebut sekolah ramah anak. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua upaya di atas yaitu kesempatan yang sama bagi seluruh anak Indonesia tanpa terkecuali dalam memperoleh pendidikan terbaik  dapat direalisasikan secara adil, cepat dan merata. 


1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.