Literasi Media, Obat Mujarab Lenyapkan Virus Hoax


gerakan anti berita hoax
https://www.kreasitekno.com
Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang memiliki keaneka ragaman baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa, suku bangsa dan adat istiadat, serta kondisi faktual ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain yang tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi konflik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme yang ada didalam masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan yang akhirnya mengarah kepada disintegrasi bangsa, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mencegah dan menanggulanginya sampai pada akar permasalahannya secara tuntas maka akan menjadi problem yang berkepanjangan. Ancaman global yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia, salah satunya dengan maraknya isu-isu berita hoax, fake news, berita fitnah dan berita bohong yang tersebar luas melalui media sosial. Dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya cukup tinggi dan menjangkau hingga berbagai kalangan, maka peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung. Namun, rupanya hal ini menimbulkan suatu polemik baru. Informasi benar dan salah menjadi campur aduk. Banyak netizen di Indonesia memiliki kecenderungan berlomba-lomba melemparkan isu dan ingin dianggap yang pertama. Hal ini nampak dalam pengiriman pesan melalui aplikasi WhatsApp, Facebook, Twitter, dan sebagainya.

Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Dalam perkembangannya, hoax sangat berpengaruh dalam memperdaya paradigma masyarakat dengan bukti-bukti yang telah dipalsukan demi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Terutama dalam era digitalisasi ini berita hoax mudah sekali tersebar. Hal ini dikarenakan wadah informasi sekarang ini tidak terbatas pada media seperti televisi yang harus mendapatkan izin penayangan dari pemerintah melalui KPI dalam setiap penyiaran beritanya, namun sekarang jauh lebih luas dan terbuka, seperti mudahnya seseorang mengakses informasi dari internet, terutama media sosial.

Kegaduhan yang terjadi di media sosial semacam itu kerap kali menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa. Pada akhirnya konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut dibentuk melalui media sosial. Di sisi lain, persoalan mengatasi kegaduhan di media sosial melalui penegakan hukum juga tidak perlu merusak semangat kebebasan berekspresi dalam sistem yang demokratis. Hal ini didukung oleh industri media itu sendiri dalam menyajikan format berita online yang kerap menyajikan informasi yang tidak utuh. Portal berita yang paling banyak dibaca adalah yang memiliki kecenderungan menampilkan isi (konten) berita yang hanya terdiri dari beberapa alinea, bahkan penyajiannya cenderung tak lengkap dalam satu berita. Untuk mendapatkan informasi lengkap, pembaca dipaksa untuk membaca lebih dari satu berita. Banyaknya persebaran hoax bahkan dapat membuat kelompok terpelajar sekalipun tidak bisa membedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax.
http://detikfokus.com/
Dari sisi psikologis, orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Secara alami perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang diterimanya benar dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali informasi tersebut. Hal ini dapat diperparah jika si penyebar hoax memiliki pengetahuan yang kurang dalam memanfaatkan internet guna mencari informasi lebih dalam atau sekadar untuk cek dan ricek fakta.

Menurut riset yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017, Media sosial adalah wadah paling favorid dalam penyebaran hoax, yaitu mencapai 92,4 persen. Media sosial yang dimaksud di sini termasuk Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, WhatsApp, dan Telegram. Sedangkan menurut riset Mastel tersebut penyebaran hoax melalui media lain relatif kecil, seperti situs web (34,9 persen), televisi (8,7 persen), media cetak (5 persen), email (3,1 persen), dan radio (1,2 persen). Hal ini menunjukkan paradoks tersendiri terhadap media sosial, dimana selain berfungsi untuk mempermudah akses informasi dan komunikasi, ternyata juga dapat menimbulkan bencana dari mudahnya penyebaran berita hoax di Indonesia. Pertemanan putus, keluarga tidak harmonis, bahkan konflik horizontal sempat terjadi ketika ada sebagian warga yang termakan oleh berita hoax. 

Literasi yang sangat rendah di Indonesia ditengarahi turut pula berpengaruh terhadap kelonggaran mudahnya berita hoax diterima dan tersebar. Akibat minimnya literasi membuat seseorang kesulitan dalam menyeleksi berita yang benar karena tidak ada data yang bisa diperbandingkan dari bahan bacaan lain. Rendahnya literasi di Indonesia dibuktikan oleh data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Jelas ini menjadi keprihatinan kita dalam budaya literasi bangsa tercinta.

Terbongkarnya Saracen sebagai sindikat penyebar narasi kebencian konten hoax yang menggunakan isu SARA menjadi bukti bahwa integrasi bangsa ini mempunyai ancaman serius. Sindikat jahat ini diduga mempunyai ratusan akun di media sosial Facebook. Modusnya, sindikat yang beraksi sejak November 2015 tersebut mengirimkan proposal kepada sejumlah pihak, kemudian menawarkan jasa penyebaran ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Memang keliatan hanya bermotif uang semata, padahal dibalik itu adalah kejahatan luar biasa, karena akan melibatkan semua anak bangsa untuk saling membenci dan saling menyakiti. Kebutuhan politik untuk meraih massa dilakukan dengan menciptakan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu sehingga muncul pembelaan dan keberpihakan. Hal inilah yang dimanfaatkan sebagai daya tarik bagi para pemodal politik untuk membeli jasa dari sindikat Saracen. Cara-cara seperti, meskipun dengan dalih kepentingan politik, sangat tidak terpuji dan keji, karena mengorbankan keutuhan bangsanya sendiri demi kepetingan pribadi dan kelompoknya. Tindakan yang secara sistematis melakukan aksi memecah belah warga negara merupakan kejahatan luar biasa yang perlu dilakukan penanganan yang serius termasuk pihak yang membayar dan mengendalikan Saracen wajib diusut tuntas.

Menyikapi semakin  masifnya  berita-berita bohong (Hoax) yang dapat menyebabkan perpecahan, membahayakan persatuan dan kesatuan, kebhinnekaan tunggalikaan, dan munculnya kebencian diantara anak bangsa, maka  perlu  upaya-upaya dari semua komponen masyarakat untuk menyikapi media sosial dengan pembelajaran, kedewasaan, penuh kehati-hatian. Berita bohong ini memang diciptakan untuk tujuan tertentu dengan memanfaatkan media sosial yang begitu cepat sampai kepada masyarakat sebagai propaganda kelompok tertentu untuk mempengaruhi pihak lain dengan tidak mengindahkan etika, moral, aturan, nilai, norma dan lain-lain guna memenangkan tujuan yang akan dicapai. 

Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax. Selain produk hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan Badan Siber Nasional yang  dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan, selain memanfaatkan program Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Sepanjang tahun 2016 Kominfo sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi. 

Meski demikian, persoalan persebaran informasi palsu atau hoax, tak hanya menjadi permasalahan di Tanah Air, tetapi menjadi isu global. Hal utama yang perlu diantisipasi sejak dini terkait dengan beredarnya berita bohong yaitu kebebasan setiap orang untuk mengeluarkan opini ke ranah publik. Kemampuan media sosial dalam menfasilitasi interaksi masyarakat dalam menanggapi sebuah berita yang tidak didasari oleh fakta dan tidak disusun berdasarkan prinsip jurnalistik berita akan menyebabkan terbentuknya opini publik yang merugikan semua pihak. Opini publik yang telah beredar di masyarakat akan menjadi lebih “liar” ketika terjadi polemik opini yang didasari oleh masing-masing masing-masing sudut pandang masyarakat. Polemik ini akan berpotensi meluas dan mampu menggerakkan masyarakat untuk membuktikan pandangannya, walaupun hal itu berisiko pada terjadinya konflik dalam masyarakat.

Dalam konteks semacam itu, kini pemerintah harus berfokus pada ‘hulu’ persebaran informasi palsu itu, dan bukan hanya melakukan pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada mendidik masyarakat bagaimana mengembangkan literasi media yang baik. Beberapa waktu yang lalu juga mengemuka gagasan menerbitkan QR Code di setiap produk jurnalistik (berita dan artikel) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi validitas sebuah informasi. QR Code yang disertakan di setiap tulisan akan memuat informasi mengenai sumber berita, penulis, hingga perusahaan media yang menerbitkan tulisan tersebut sehingga suatu tulisan dapat dilacak hingga hulunya. Dengan demikian, kerukunan berbangsa masyarakat Indonesia dapat dipelihara sebaik mungkin. 

Literasi media adalah perspektif yang dapat digunakan ketika berhubungan dengan media agar dapat menginterpretasikan suatu pesan yang disampaikan oleh pembuat berita. Orang cenderung membangun sebuah perspektif melalui struktur pengetahuan yang sudah terkonstruksi dalam kemampuan menggunakan informasi. Juga  dalam pengertian lainnya yaitu kemampuan untuk mengevaluasi dan menkomunikasikan informasi dalam berbagai format termasuk tertulis maupun tidak tertulis. Literasi media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu dapat dengan lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar, dan baca. Tetapi kecakapan bermedia bukan hanya seputar persoalan mengonsumsi informasi. Kecakapan bermedia yang ideal dimaksudkan mengupayakan setiap individu mampu memproduksi, mengkreasi dan secara efektif berkomunikasi dalam berbagai wujud, tidak hanya cetak. Misalnya penggunaan teknologi internet untuk menghadirkan informasi yang memiliki konten yang lebih kaya dan menggapai sasaran yang lebih luas. Individu media setidaknya paham bahwa dengan internet mampu merepresentasikan kombinasi atas banyak wujud pesan, mulai dari pesan tertulis, video, suara, gambar dan animasi.

Di Inggris dan Australia kecakapan bermedia seringkali menjadi mata pelajaran tersendiri, sama halnya pada kurikulum Bahasa Inggris. Pada tingkatan senior, usia 11 tahun dan 12 tahun, beberapa negara bagian menawarkan studi media sebagai pilihan kajian. Misalnya banyak sekolah di Queensland menawarkan kajian perfilman, televisi, dan media baru. Sedangkan sekolah-sekolah di Victoria pendidikan media didukung penuh oleh asosiasi guru-guru profesional yang mengajar subjek pelajaran media. Mereka tergabung dalam Australian Teachers of Media (ATOM) yang juga menerbitkan sumber-sumber penting berupa publikasi dan panduan yang baik.

Sementara itu di Eropa, pendidikan media hadir dalam berbagai bentuk berbeda. Pendidikan media diperkenalkan pada kurikulum dasar Finlandia pada tahun 1970 dan pada pendidikan menengah atas di tahun 1977. Tetapi pendidikan media yang dikenal saat ini tidak berkembang di Finlandia hingga tahun 1990-an. Sedangkan di Swedia pendidikan media semakin berkembang sejak tahun 1980. Dan di Denmark sejak tahun berkembang sejak tahun 1970 yang fokus pada teknologi informasi. Di Prancis dan Jerman, masing-masing menitikberatkan pada film dan Jerman giat menerbitkan teori-teori mengenai kecakapan bermedia.

Terkait dengan literasi media ini,masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjabarkan beberapa langkah yang bisa diterapkan  pengguna internet untuk mengetahui sebuah informasi layak dikonsumsi atau tidak. Dalam buku panduan yang dirilis Mafindo setidaknya ada 5 cara yang patut diperhatikan mengantisipasi kualitas informasi

1. Memeriksa ulang judul berita provokatif. Judul berita kerap dipakai sebagai jendela untuk mengintip keseluruhan tulisan. Namun tak jarang hal itu dimanfaatkan para penyebar berita palsu dengan mendistorsi judul yang provokatif meski sama sekali tak relevan dengan isi berita. Mafindo menyarankan pembaca untuk mengecek sumber berita lain agar informasi yang diterima bukan hasil rekayasa.
2. Meneliti alamat situs web. Dewan Pers memiliki data lengkap semua institusi pers resmi di Indonesia. Data yang terhimpun itu bisa digunakan oleh pembaca sebagai referensi apakah sumber berita yang dibaca telah memenuhi kaidah jurnalistik sesuai aturan Dewan Pers. Cukup mengetik nama situs berita di kolom data pers, pembaca dapat mengetahui status media yang mereka konsumsi berdasarkan standar Dewan Pers.
3. Membedakan fakta dengan opini. Mafindo menganjurkan pembaca tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita. Sering kali hal itu luput dari pembaca karena pembaca terlalu cepat mengambil kesimpulan. Semakin banyak fakta yang termuat di sebuah berita, makin banyak kredibel berita itu.
4. Cermat membaca korelasi foto dan caption yang provokatif. Persebaran foto provokatif dengan imbuhan tulisan yang telah disunting. Cara termudah menguji keabsahan informasi dari foto yang diterima, pembaca bisa membuka Google Images di aplikasi penjelajah lalu menyeret foto yang dimaksud ke kolom pencarian.
5. Ikut serta dalam komunitas daring. Menurut Mafindo, setidaknya ada empat komunitas yang getol memerangi berita palsu di Indonesia. Keempatnya itulah yang menjelma menjadi Mafindo. Dengan model crowdsourcing, komunitas itu berusaha menyaring dan mengklarifikasi informasi yang meragukan kebenarannya.

http://tribratanews.kepri.polri.go.id


Salah satu tantangan rakyat Indonesia saat ini adalah bagaimana menjadikan multikulturalisme itu sebagai kekuatan, yang tentunya nanti bisa membawa rakyat pada persatuan dan kesatuan bangsa. Multikulturalisme masyarakat Indonesia dapat menimbulkan masalah tentang sulitnya membangun masyarakat Indonesia yang terintegrasi pada tingkat lokal dan tingkat nasional. Salah satu masalah yang ada dalam masyarakat terkait multikulturalisme adalah konflik yang dapat memecah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pemerintah untuk menghindari perpecahan akibat dampak negatif multikulturalisme. 

Sejalan dengan pemikiran Prof.Din Syamsudin selaku Presiden Komite Keagamaan dan Perdamaian Asia, bahwa untuk membangun persatuan melalui multikulturalisme, pertama, harus ada kesadaran tentang pentingnya multikulturalisme, yang dalam pandangan Islam adalah hukum (ketetapan) Tuhan, dan kedua, mengembangkan budaya dalam masyarakat untuk saling menghargai dan tenggang rasa. Memang ada perbedaan di antara kelompok masyarakat, tetapi di sisi lain, juga ada persamaan, oleh karena itu penting mencari titik temunya. Indonesia sangat beruntung karena pendiri bangsa ini telah mewariskan dua pedoman yang bisa menyatukan kemajemukan dalam masyarakat, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu semangat kebersamaan, kerjasama, dan berbagi atas nama kemanusiaan tanpa memandang perbedaan untuk menguatkan persatuan di antara masyarakat dengan budaya yang beragam. Sikap saling menghormati identitas masing-masing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi kesatuan bangsa. 

Referensi :







Lima Cara Antisipasi Berita Hoax di Media Sosial


berita-hoax-di-group-media


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.