Melabuhkan Bahtera Kemanusiaan
http://inilahbanten.co.id/ |
Sejak
masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari
bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Meski
pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi endemis yang
tak henti mendera rakyat. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan
terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami,
lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut asap.
Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini pun kian hari kian menyebar bak virus
ganas, mulai dari lapisan masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur,
hingga ke kampung-kampung nelayan. Hal ini disebabkan oleh multispektrum dari
makna kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah dituntaskan
dengan satu pengertian saja.
Secara
konseptual. kemiskinan diposisikan sebagai isu ekonomi dan isu sosial. Ketika
kemiskinan dianggap sebagai permasalahan ekonomi, maka biasanya kemiskinan
disederhanakan sebagai kekurangan pendapatan (per kapita) atau jumlah kalori
yang dikonsumsi oleh individu. Sebaliknya, pendekatan sosial memandang
kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi
pembangunan, baik akibat ketidakcukupan ketrampilan/pendidikan maupun
pengucilan sosial (social exclusion) sehingga
membuat individu tersebut tidak mampu memperoleh kesejahteraan. Dalam ranah
ini, masyarakat miskin
ditandai oleh beberapa hal yaitu ketidakmampuan dalam: (a) memenuhi kebutuhan
dasar, (b) melakukan usaha yang produktif, (c) menjangkau sumber daya sosial
dan ekonomi baik akibat rendahnya daya tawar maupun keterbatasan modal,
teknologi dan sumber daya manusia (d) mengatasi resiko penyakit, bencana alam,
kegagalan panen dan sebagainya sehingga harus menjual aset produksinya serta
(e) memunculkan percaya diri dan mental untuk terbebas dari warisan kemiskinan.
Di lain pihak, Kemiskinan juga
disebabkan kebijakan-kebijakan yang ditempuh negara kerap tidak berpihak pada rakyat.
Kebijakan yang berkait dengan pertanian, industri dan ketenagakerjaan, yang
merupakan pilar rakyat untuk memperoleh pendapatan kurang menjadi prioritas.
Akibatnya, jutaan orang menganggur dan tidak dapat memenuhi kebutuhan makan
karena tidak memiliki daya beli kebutuhan pokok. Di Banyumas, mudah ditemui
masyarakat mengkonsumsi nasi aking, sisa nasi yang dijemur dan dimasak lagi,
yang seharusnya layak untuk dimakan binatang. Di Jambi, masyarakat terpaksa
mengkonsumsi talas hutan beracun karena sudah tidak ada persediaan makanan. Dampak paling besar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan fisik minimum tentu akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Maret 2017, Papua dan Papua Barat menjadi wilayah yang
memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dibanding provinsi lainnya. Kedua wilayah
ini masing-masing memiliki tingkat kemiskinan mencapai 27,62 dan 25,1 persen.
Selanjutnya Nusa Tenggara Timur dengan tingkat kemiskinan sebesar 21,85 persen.
Dari 10 daftar provinsi dengan angka pengangguran terbesar, semuanya di atas
pengangguran nasional.
Sementara, angka kemiskinan penduduk perdesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Data menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin desa pada Maret 2017 masih mencapai 13,93 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding dengan persentase penduduk miskin perkotaan yang hanya 7,72 persen. Persentase penduduk desa juga di atas angka penduduk miskin nasional yang berada di level 10,64 persen pada Maret 2017.
Sementara, angka kemiskinan penduduk perdesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Data menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin desa pada Maret 2017 masih mencapai 13,93 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding dengan persentase penduduk miskin perkotaan yang hanya 7,72 persen. Persentase penduduk desa juga di atas angka penduduk miskin nasional yang berada di level 10,64 persen pada Maret 2017.
![]() |
.katadata.co.id |
![]() |
katadata.co.id |
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Sejak 2015, pemerintah menggulirkan dana triliunan rupiah untuk program Dana Desa untuk mengatasi kesenjangan antara penduduk desa dan kota. Pada 2015, pemerintah menganggarkan Rp 20 triliun, pada 2016 sebesar Rp 47 triliun. Kemudian pada 2017 dianggarakan sebesar Rp 60 triliun dan akan kembali dikucurkan Rp 60 triliun pada 2018. Namun sayangnya, dana desa yang disalurkan ke daerah banyak yang seharusnya untuk pembangunan desa ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga banyak pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi dana desa. Sistem dan sumber daya yang belum siap serta kurangnya pengawasan membuat anggaran Dana Desa banyak tidak tepat sasaran. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Karena
kemiskinan adalah fenomena yang kompleks dan terdiri dari banyak aspek,
pembangunan tidak bisa hanya ditujukan untuk tujuan akhir peningkatan
pendapatan rakyat miskin dan kesejahteraan. Pembangunan ekonomi perlu untuk
melihat tujuan di luar pertumbuhan ekonomi dan memasukkan unsur pembangunan
sosial untuk rakyat miskin dan berbagai kelompok lain yang termarjinalisasikan.
Strategi pembangunan yang kerap ditemui dan kerap gagal adalah hasil konsultasi
terbatas di level eksekutif atau antara eksekutif dengan pihak eksternal tanpa
adanya suplai informasi tentang kondisi kemiskinan aktual di masyarakat yang
menjadi sasaran program tersebut. Pada aras global,
gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun,
Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against
Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi
politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang
Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank
Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi
kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi
kita dalam melawan kemiskinan.
Bahterah Itu Bernama DOMPET DHUAFA
Islam secara khusus memandang kemiskinan sebagai satu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlaq, kelogisan berfikir, keluarga dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus di tanggulangi. Jika kemiskinan sudah merajalela, ia akan menjadi kemiskinan yang mansiyyan (mampu membuatnya lupa kepada Allah dan juga kemanusiaannya). (Yusuf Qardhawi, 2006).
Bahterah Itu Bernama DOMPET DHUAFA
Islam secara khusus memandang kemiskinan sebagai satu hal yang mampu membahayakan akidah, akhlaq, kelogisan berfikir, keluarga dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus di tanggulangi. Jika kemiskinan sudah merajalela, ia akan menjadi kemiskinan yang mansiyyan (mampu membuatnya lupa kepada Allah dan juga kemanusiaannya). (Yusuf Qardhawi, 2006).
Di dalam al-Qur’an
kata miskin disebut sebanyak 25 kali,
yakni 11 kali disebut dalam kata miskin,
12 kali dalam kata masakin, dan 2
kali dalam kata maskanah (kehinaan
yang menunjuk sifat kemiskinan). Sementara faqir
disebutkan sebanyak 14 kali, yakni 1 kali disebut dalam kata faqr, 1 kali dalam kata faqirah, 5 kali dalam kata faqir, dan 7 kali dalam kata fuqara’. Kemudian dengan melihat akar
kemiskinan dan tanggung jawab negara di dalamnya, maka penyebutan yang tepat
terhadap mereka yang miskin atau lemah (dhuafa’)
adalah istilah mustadh’afin (kaum yang tertindas),
yakni kelompok manusia yang berada dalam status sosial “inferior”, tersisih,
tertindas secara sosial-ekonomi, dan diperlakukan secara diskriminatif. Istilah
mustadh’afin memiliki
arti yang kontekstual dan dapat mewakili kelas sosial rendah lainnya, seperti arâdzil (yang tersisih), fuqarâ’
(fakir), maupun masâkin (orang-orang miskin). Untuk itu sebagai sebuah cerminan dalam meningkatkan
penghasilan kaum dhuafa maka dibutuhkan sebuah perubahan yang akan menjadikan
kaum dhuafa dapat mandiri melalui usaha dalam memberdayakan hidup mereka.
Pada
tataran yang lebih masif, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk
menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless)
agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan
pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka
dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi
masalahnya. Pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan
penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin
merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang
pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power)
yang dimiliki.
Dengan kata lain, pemberdayaan adalah
memampukan dalam memandirikan masyarakat. Karena kemiskinan dan keterbelakangan
menyebabkan tumbuh suburnya ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan masyarakat tidak
hanya dalam aspek ekonomi yang rendah atau kemiskinan, tapi ketidakberdayaan
masyarakat dapat disebabkan karena minoritas, wanita, populasi lanjut usia,
serta penyandang cacat. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bentuk
dakwah bi al-hal, dakwah yang dilakukan dengan tindakan nyata, berupa
perbuatan yang dapat membantu kebutuhan mad’u yang dalam hal ini adalah
masyarakat yang tidak berdaya (dhaif), sehingga mereka dapat hidup lebih
baik.
Manifestasi zakat sebagai rukun Islam
yang ketiga, tentunya menjadi instrument utama yang dimiliki oleh Islam, yang
berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari kelompok yang mampu kepada
kelompok yang tidak mampu. Zakat memiliki posisi yang penting, strategis dan
menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat
dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Faktanya, sampai saat ini
potensi zakat yang dimiliki mayoritas penduduk muslim Indonesia belum tergarap
secara optimal. Dikutip dari http://news.analisadaily.com/ potensi zakat Indonesia dalam setahun mencapai Rp 217 triliun, namun sayang
zakat nasional yang saat ini terhimpun baru sekitar satu persen atau hanya
Rp2,73 triliun. Disisi lain perkembangan lembaga amil zakat di Indonesia yang berkembang
cukup pesat ternyata tak sejalan dengan kaum dhuafa di Indonesia yang justru terus
bertambah.
Harus diakui, masih jauhnya realisasi
penghimpunan dengan potensi zakat, salah satunya karena publik belum sepenuhnya
memahami perihal zakat. Sebagian masyarakat Indonesia baru memahami zakat
fitrah yang dikeluarkan saat bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri. Tantangan
terbesar lainnya dari optimalisasi zakat adalah bagaimana mendayagunakan dana
zakat menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Tepat guna berkaitan dengan program
pendayagunaan yang mampu menjadi solusi terhadap problem kemiskinan. Sedangkan
tepat sasaran berkaitan dengan mustahik penerima dana zakat. Dalam konteks
Indonesia dengan jumlah penduduk miskin yang besar sekitar 40 juta jiwa, maka
fakir miskin menempati prioritas pertama sebagai penerima zakat. Saatnya, lembaga pengelola zakat tidak hanya memperhatikan aspek
penggalangan dana dan menciptakan program pengentasan kemiskinan yang
berkualitas, tetapi juga dalam aspek sosialisasi dan komunikasi.
Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga donasi yang menjadi tulang punggung pemberdayaan umat. Sejak
tahun 1993, Dompet Dhuafa memfokuskan pada pengelolaan zakat,
infaq, shodaqoh, wakaf serta dana filantropi lainnya yang halal dan legal, baik
dari perorangan, kelompok, perusahaan/lembaga secara professional dengan
menitikberatkan pada program-program pemberdayaan terpadu untuk membangun
kemandirian dan pelayanan masyarakat.
Selaras dengan tujuan dakwah yang
yang tidak hanya bil lisan, tapi juga yang terpenting bi al-hal .
Dalam hal ini Dompet Dhuafa senantiasa
menumbuhkan iklim transparansi dan profesionalitas untuk mengawal amanah
masyarakat yang demikian besar, untuk kemudian mengemasnya dalam pemberdayaan yang inovatif. Program-program
pemberdayaan yang menjadi unggulan meliputi pendidikan, ekonomi, kesehatan dan
lingkungan. Program-program tersebut diharapkan dapat memberdayakan masyarakat,
khususnya masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan visinya “Terwujudnya masyarakat dunia yang berdaya
melalui pelayanan, pembelaan dan pemberdayaan yang berbasis pada sistem yang
berkeadilan”
Pendekatan yang dilakukan Dompet
Dhuafa dalam menjalankan program pemberdayaan adalah dengan melalui rekomendasi
langsung dari lembaga, mitra Dompet Dhuafa dan ada juga yang langsung pengajuan
dari mustahik. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan survey melalui ARM
(Analisis Row Material) masyarakat setempat. Kalau misalkan program yang
diajukan sesuai dengan kategori program yang ada di Dompet Dhuafa, maka
kemudian dibuatkan MPP (matarik perencanaan program) dan dilanjutkan dengan FGD
(Focus Grup Discussion).Setalah selesai FGD, maka kemudian dibuatlah RAB
(rancangan anggaran besar) untuk pelaksanaan program yang diajukan oleh Dompet
Dhuafa masing-masing wilayah kepada Dompet Dhuafa pusat.
Sedangkan untuk menetapkan wilayah yang akan
menjadi objek program pemberdayaan, Dompet Dhuafa terjun langsung ke masyarakat
untuk melakukan survey terkait permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tidak
cukup dengan itu, Dompet Dhuafa melakukan komunikasi langsung (dialog) dengan
masyarakat terkait berbagai permasalahan yang dihadapi, sehingga sampai pada
titik kesimpulan permasalahan yang paling mendasar. Dengan hasil kesimpulan itu
kemudian tim Dompet Dhuafa membuatkan program untuk mengatasinya. Program
pemberdayaan ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya salah sasaran dalam
penyaluran dana zakat. Selain itu, cara ini dianggap lebih objektif dalam
pembentukan masyarakat yang mandiri, yang kemudian dari wajib menerima dana
zakat akan berubah menjadi orang yang wajib zakat. Ditopang oleh 5 pilar yakni sistem, nilai kemanusiaan, hukum dan
keadilan, ekonomi dan kesejahteraan serta tata kelembagaan, Program ini
dijalankan secara utuh dalam arti bahwa Dompet Dhuafa ingin membuat masyarakat
menjadi mandiri secara utuh, baik dari bidang sosial, ekonomi, dalam bingkai
kehalalan dan keberkahan. Bahkan dalam bentuk advokasi terhadap kegiatan sosial
ekonomi yang mereka jalankan.
Keberlangsungan dan kesinambungan
sebuah program pemberdayaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus
diwujudkan. Oleh karena itu berbagai upaya dan dukungan dari semua pihak sangat
penting untuk mencapai keberhasilan program pemberdayaan. Beberapa indikator
keberhasilan program pemberdayaan diantaranya adalah 1) terciptanya kemandirian
komunitas, 2) tumbuhnya kesadaran, 3) perubahan pola pikir, sikap dan perilaku
komunitas ke arah yang lebih baik, 4) berkembangnya usaha, 5) meningkatnya
taraf kesejahteraan, 6) adanya dukungan penuh dari pihak-pihak terkait dan 7)
adanya kader dan lembaga local
Banyak cara yang bisa kita lakukan
untuk mengangkat harkat dan martabat saudara kita yang membutuhkan. Melalui semangat bulan kemanusiaan yang digagas Dompet Dhuafa, mari buka mata, buka hati dan jadilah pahlawan
kemanusiaan dengan segala kekuatan yang diberikan Tuhan kepada kita. Rangkul asa dan mimpi mereka untuk kembali tersenyum menatap
masa depan. Semangat bulan kemanusiaan yang digagas Dompet Dhuafa juga didukung dengan berbagai kanal-kanal transaksi yang bisa memudahkan anda untuk terlibat dalam mendonasikan dana yang ingin anda salurkan. Mulai dari kanal transaksi berbasis online maupun konter-konter Dompet Dhuafa yang tersedia di pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran. Ditambah lagi platform donasi digital www.bawaberkah.org sehingga akan memudahkan dan mendukung berbagai macam gerakan kebaikan anda semua secara praktis, aman dan luas manfaatnya.
Jika anda tergerak untuk menjadi bagian dari hero jaman now silahkan kunjungi http://kemanusiaan.dompetdhuafa.org/ Dhompet Dhuafa siap menjadi mitra anda dalam meraih berkah dan pahala.
Referensi :
MENELAAH KEMISKINAN DI INDONESIA PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK
Jika anda tergerak untuk menjadi bagian dari hero jaman now silahkan kunjungi http://kemanusiaan.dompetdhuafa.org/ Dhompet Dhuafa siap menjadi mitra anda dalam meraih berkah dan pahala.
Referensi :
MENELAAH KEMISKINAN DI INDONESIA PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK
ANALISIS EFEKTIVITAS PENDAYAGUNAAN
ZAKAT PRODUKTIF PADA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SUKABUMI
Leave a Comment