Meretas Masa Depan Generasi Emas Indonesia Berawal Dari Pembangunan Keluarga Berkualitas
Tak terasa air mataku menitik melihat potret anak-anak tak berdosa yang terpapar jiwa radikalisme dari orang tuanya. Kasus bom yang mengguncang Surabaya beberapa waktu lalu menyeret bocah-bocah belia yang seharusnya tengah syahdu menikmati
indahnya dunia. Mereka harus rela
masa depannya terenggut paksa dengan cara tak manusiawi. Sejatinya mereka adalah generasi emas. Generasi yang kelak
menjadi permata negeri. Mereka anak pertiwi, penerus cita-cita luhur para pahlawan yang dengan rela hati mengorbankan
jiwa raga semata-mata demi kemerdekaan negeri ini, bukan dengan ambisi yang sudah ternodai
oleh ideologi sesat. Orang tua yang sejatinya menjadi mitra paling nyaman untuk mengenal kehidupan, justeru menyasar kepolosan mereka demi mengejar ambisi akherat yang tak jelas dalilnya.
Kenapa harus anak-anak? karena keluarga menjadi unit utama
dalam pengembangan sosial dan psikologis individu melalui proses sosialisasi. Kegiatan sehari-hari seperti mendiskusikan jihadisme dan politik, menonton
video ekstremis bersama, berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan pasangan dan
orang tua, dan lain-lain dapat membentuk ideologi tersebut. Mereka mungkin tidak mempertanyakannya, karena mereka memercayai orang tua
mereka. Anak-anak melihat
apa yang terjadi sebagai sesuatu yang biasa dan umum terjadi dalam keluarga.
Anak-anak juga meniru bagaimana orang tua mengekspresikan komitmen dan
kesetiaan mereka terhadap ideologi atau organisasi setiap hari. Anak akan memperlihatkan
“kesetiaan” yang akan mereka berikan pada seseorang atau sesuatu seperti
ideologi, pemimpin atau organisasi, dan lain-lain, terbentuk dengan cara ini. Loyalitas
semacam ini tidak serta-merta muncul. Hal ini merupakan hasil penanaman nilai
orang tua kepada anak-anak mereka dalam bentuk ide, norma, kebiasaan, dan
metode.
Warning bagi orang tua. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) mendokumentasikan hasil beberapa survei yang menyatakan anak-anak
Indonesia rentan terpapar radikalisme. Seperti dirilis harian
online republika Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti
mengatakan, hasil survei mengungkap anak-anak sekolah atau anak-anak Indonesia
rentan terpapar paham radikalisme. Setara Institut melalukan survei di Jakarta
dan Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Hasilnya cukup mengejutkan karena
2,4 persen siswa di penelitian ini tergolong intoleran aktif dan radikal. Sementara
0,3 persen bertoleran menjadi teroris. berdasarkan survei yang dilakukan
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) terhadap 59 sekolah swasta dan 41
sekolah negeri ternyata hasilnya cukup mencengangkan karena lembaga ini
menemukan sebanyak 48,9 persen siswa bersedia terlibat aksi kekerasan yang
terkait agama dan moral. Retno juga mengutip survei yang dirilis 2011 lalu
menunjukan sebanyak 63,8 persen siswa bersedia terlibat dalam penyegelan rumah
ibadah penganut agama lain.
Bagaimana
menciptakan SDM dan generasi masa depan yang berkualitas ?
Istilah “generasi emas” menjadi ramai dibicarakan oleh
banyak tokoh dan pengamat setelah Mendikbud ---waktu itu--- M. Nuh dalam
sambutan peringatan Hardiknas 2012 dengan tema “bangkitnya generasi emas
Indonesia”. Pemimpin bangsa Indonesia tahun 2045 adalah mereka
yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah, baik pendidikan usia dini,
pendidikan dasar atau pendidikan menengah. Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menko Perekonomian,
diharapkan bahwa pada tahun 2025 Indonesia menjadi negara yang mandiri, maju,
adil dan makmur dengan pendapatan perkapitan 15.000 dollar AS dan menjadi
kekuatan ekonomi 12 besar dunia.
Ada dua pengertian tentang Generasi Emas.
Pertama,generasi emas berkaitan dengan bagaimana keadaan generasi Indonesia
ketika berusia 100 tahun merdeka, dan yang kedua adalah generasi emas dalam
penjabaran kata “EMAS’’ yaitu Energik,
Multitalenta, Aktif, dan Spiritual. Dengan demikian
membangun generasi Emas Indonesia 2045 adalah sebuah produk generasi baru yang
Energik, Multritalenta, Aktif, dan Spiritual; yakni generasi yang cerdas, siap
bersaing di era modern, globalisasi dan penuh kompetitif.
Lebih jauh, pada tahun 2045 Indonesia diproyeksikan
menjadi satu dari 7 kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan perkapita 47.000
dollar AS. Dampak yang signifikan manakala negara tidak melakukan investasi
sumberdaya manusia, bahkan bisa berubah menjadi gelombang pengangguran massal
yang akan menambah beban anggaran negara. menambahkan bahwa efek negatif pascabonus
demografi adalah meledaknya jumlah penduduk usia tua, sementara transisi usia
muda menjadi usia produktif belum sempurna yang menyebabkan pembengkakan jaminan
sosial dan pensiunan sehingga terjadi stagnasi dalam perekonomian nasional karena
tabungan dari usia produkif dialihkan sebagai dana talangan untuk membiayai jaminan
sosial dan pensiun.
Faktanya, Indonesia sampai saat ini masih menyisakan ketimpangan sosial yang cukup mengkhawatirkan. Pada 2015, sekitar 52
persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan
pendidikan sampai jenjang SD/SMP. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu
menempuh jenjang Sekolah Dasar. Hanya 16,7 persen penduduk miskin yang dapat
mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA atau lebih tinggi. Rendahnya angka
tingkat pendidikan ini berakibat pada kualitas manusia yang semakin menurun dan
tidak mampu bersaing dalam dunia kerja.Program
wajib belajar 12 tahun menjadi suatu kebijakan yang ditawarkan pemerintah guna
memperbaiki sektor pendidikan di Indonesia. Program ini diharapkan dapat
menjadi alat untuk meningkatkan kualitas sosial-ekonomi dan
mengurangi kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. Dengan adanya
program wajib belajar 12 tahun, setiap anak Indonesia dapat mengenyam
pendidikan hingga tingkat menengah atas dan dapat bersaing di dunia kerja.
https://databoks.katadata.co.id/ |
Kemiskinan adalah ketidakmampuan
dari segi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari segi pengeluaran, dengan batas Garis Kemiskinan. Anak miskin adalah
anak yang tinggal pada rumah tangga dengan pengeluaran perkapita sebulan di
bawah garis kemiskinan nasional (Rp 354.386/orang/bulan) atau Rp
12.000/orang/hari. Rumah tangga yang sedang
dilanda kemiskinan akan memberikan pengaruh signifikan pada anak, karena
berarti anak tersebut juga mengalami kemiskinan. Kemiskinan anak merupakan
masalah multidimensional karena banyak faktor penyebab sehingga anak tersebut
bisa menjadi miskin.
Upaya mewujudkan SDM yang berkualitas saat ini dan dimasa mendatang menjadi sangat urgen untuk menjawab tantangan zaman seiring dengan munculnya berbagai dampak dari era global dan modernisasi kehidupan. Keluarga sebagai institusi terkecil dituntut untuk mampu memainkan perannya yang strategis untuk memberdayakan seluruh anggota keluarganya dengan memantapkan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga sebagai manifestasi sekaligus aktualisasi dari keluarga yang berkualitas.
Menurut UU
No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga
yang berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah
dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang
ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.Keluarga
yang berkualitas akan menjadi wahana efektif untuk membentuk SDM berkualitas
karena keluarga tersebut dipastikan memiliki ketahanan yang tinggi, melalui
delapan fungsi keluarga yang dapat dijadikan pegangan hidup bagi setiap
individu yang ada di dalamnya terutama anak sebagai calon generasi penerus
keluarga, masyarakat dan bangsa.
Lebih
lanjut, penyiapan Generasi Emas dilakukan melalui pembangunan karakter yang
berawal dari keluarga. Ini dikarenakan keluarga merupakan lingkungan pertama
dan utama dalam pembinaan tumbuh kembang dan penanaman nilai-nilai moral dan
pembentukan kepribadian; menjadi tempat belajar bagi anak dalam mengenal
dirinya sebagai makluk sosial dan pembentukan hati nurani; serta menjadi lingkungan
pertama dan utama bagi anak dalam beradaptasi dengan lingkungan, tempat
mencontoh dan meneladani sikap dan perilaku yang akan membentuk kepribadiannya.
Keluarga juga merupakan pilar pembangunan bangsa; lingkungan pertama dan utama
yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan “asah, asih, dan asuh“;
serta tumpuan untuk menumbuhkembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggota
keluarga.
Perencanaan
keluarga yang tepat yang dimulai dengan menentukan usia kawin yang ideal, usia
melahirkan yang ideal, mengatur jumlah dan jarak anak yang ideal di dalam
keluarga menjadi prasyarat untuk melahirkan generasi yang berkualitas. Selanjutnya
keluarga melalui delapan fungsinya yaitu fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta
kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan
fungsi pembinaan lingkungan merupakan wahana persemaian nilai-nilai budaya
bangsa dan norma agama yang sangat efektif untuk membangun karakter/kepribadian
anak, disamping sebagai wahana ideal bagi setiap individu untuk berlatih
ketrampilan, bersosialisasi maupun menumbuhkan dan mengembangkan rasa percaya
diri. Karena dalam lingkungan keluarga, setiap individu tidak saja sekedar
belajar untuk memahami dan mengerti akan nilai, norma, ilmu dan ketrampilan,
tetapi sekaligus juga mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal
untuk mewujudkan SDM yang berkualitas.
Pada akhirnya, peran keluarga yang signifikan dalam
membentuk perilaku anaknya akan berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa termasuk dalam menangkal paham radikal.
Manakala sebuah keluarga membiarkan rumah tangganya tanpa arah, begitulah
kemungkinan miniatur yang dimiliki oleh bangsanya. Pentingnya penyiapan
generasi emas sejak dini dengan corak pengasuhan keluarga yang baik untuk
menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi tanggung jawab bersama. Semua
itu dilakukan dengan maksud agar keluarga dapat terbangun secara sehat dan
tidak menimbulkan dampak yang sekiranya dapat merugikan keluarga tersebut dan
juga sosial.
Referensi :
Leave a Comment