Budaya Sensor Mandiri, Saatnya Mendidik Kaum Terdidik

ilustrasi: kartun favorit anak
Relasi anak dengan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Bagi kebanyakan anak,televisi adalah orang tua ketiga-the other parent-yang memiliki kekuatan transferensi ide, nilai, norma dan transformasi mental ke arah penyadaran, pencerahan dan kemajuan kehidupan.Namun, televisi dapat juga menularkan pengaruh buruk yang mendegradasikan format kemanusiaan dan kemampuan berpikir anak. 

Faktanya, tayangan anak dalam industri televisi di Indonesia saat ini masih menghadapi problema ketimpangan antara nilai-nilai ideal sebuah tayangan televisi dengan tuntutan pasar yang harus dihadapi oleh para praktisi penyiaran. Di satu sisi, state regulation yang mengedepankan nilai-nilai ideal menghendaki media sebagai industri dan sebagai alat pemersatu bangsa, pelestarian budaya,menghormati agama, dan adat istiadat, serta melindungi khalayak khusus, yaitu remaja dan anak-anak; di sisi lain, para praktisi penyiaran dihadapkan pada market regulation, yang menghendaki media sebagai industri dan bagian dari sistem kapitalisme. Maka, logika never end-ing circuit of capital accumulation dengan rumus M-C-M (Money-Commodities-More Money) menjadi tumpuan atas dasar dua kutub, yaitu pasar khalayak dan pasar industri iklan, sehingga anak-anak sebagai pemirsa televisi tidak lebih dari objek bisnis dan menjadi parameter rating sebuah program.

Data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan kondisi televisi yang ada di Indonesia sangat memperihatinkan dan tidak ramah untuk perkembangan pola pikir anak. Sebanyak 91% program yang dihasilkan televisi ditujukan untuk orang dewasa. Sementara itu, sebanyak 97 % tayangan hanya berisi hiburan dan hanya 3 % program yang memuat nilai-nilai pendidikan.  Selain itu, banyak tayangan televisi yang dipandang tidak tepat dan salah sasaran. Contohnya antara lain muatan tayangan televisi yang banyak bermasalah dengan mengandung unsur kekerasan. Unsur kekerasan yang muncul dalam film-film anak-anak tersebut adalah kekerasan dalam bentuk fisik (perkelahian) ini mendominasi hampir semua film yang disukai oleh anak-anak. Demikian juga dengan kekerasan non fisik. Seperti saling mengejek diantara tokoh, munculnya penggambaran tokoh yang licik, pendendam dan iri juga mewarnai film anak-anak. Belum lagi cara berpakaian. Pada film anak-anak, meskipun bentuknya kartun atau animasi yang banyak adegan perkelahian maka tokoh perempuan selalu digambarkan dengan pakaian yang minim dengan ditunjukkan bentuk lekukan tubuhnya cenderung seksi.
 
pentingnya pendampingan orang tua ; http://www.ypph.org

Arti penting melindungi anak dari dari informasi kekerasaan ditegaskan melalui pasal 28B ayat (2) UUD 1945 Amandemen serta UU No.23 /2002 tentang perlindungan anak dan UU No.32 /2002 tentang penyiaran. Berbagai studi dalam skala internasionalpun telah menemukan bahwa tayangan kekerasan dapat memicu perilaku agresif dari anak dan remaja. American Academy of Child & Adolescent Psychiatry (AACAP) memaparkan hasil-hasil penemuan berbagai penelitian tersebut, antara lain:

  • Anak menjadi kebal terhadap kengerian dari perilaku kekerasan
  • Anak mulai menerima dan meyakini bahwa kekerasan merupakan cara untuk menyelesaikan masalah
  • Anak akan meniru kekerasan yang mereka lihat dari media
  • Anak mengidentifikasikan dirinya dengan karakter tertentu dalam film/tayangan (baik itu korban atau pelaku) 

Beruntung, putra saya 3 tahun perkembangan intelgensinya justeru terbantu dengan film animasi kartun yang cukup ‘’ngehits’’ saat ini dan sangat digemari segala usia karena kelucuan si kembar berkepala plontos. Walaupun menggunakan bahasa melayu, namun karena cerita diramu sederhana dan berkisah seputar kehidupan khas kanak-kanak, anak sayapun dengan sangat mudah meniru ucapan-ucapan maupun perilaku si tokoh. Sampai disini saya tidak khawatir, bahkan merasa sangat terbantu mengembangkan kemampuan bahasanya. Namun demikian akhirnya ketergantungan si adek terhadap film tersebut membuat saya mulai cemas. Hampir setiap waktu tak ada hari tanpa kartun kesayangannya. Apalagi kartun tersebut ditayangkan primer time, jam 07.00 pagi, 12.00 siang dan terakhir jam 06.00 petang. Belum lagi ketika libur hari besar, film tersebut durasinya ditayangkan hampir tiga jam lamanya.  Si kecilpun mulai lupa waktu dan enggan bermain, dan tak mau mendengar permintaan saya jika sudah standby di depan layar TV. Dari situ saya mulai berpikir jika tidak dibatasi bisa berbahaya untuk perkembangan sosialnya. Mau tidak mau saya harus bersikap tegas membatasi acara nonton kartun favoritnya, hanya saat jam makan siang. Tra la lala akhirnya si adek tidak lagi kecanduan kartun, dan kembali aktif bermain dengan si kakak. 

Mendidik Kaum Terdidik  

Melihat masa golden age anak-anak 0-5 tahun, tentunya masa-masa emas dan sangat potensial dan dapat berkembang ke arah positif maupun negatif. Disini peranan intervensi edukatif dalam bentuk pendidikan, bimbingan, maupun pendampingan sangat diperlukan untuk mengarahkan potensi mereka tersebut agar berkembang dengan baik ke arah positif dan produktif. 

Kaum terdidik disini tidak identik dengan gelar bertubi-tubi dibelakang nama kita. Kaum terdidik disini adalah kita, para orang tua yang harus menjadi media pendidikan utama bagi tumbuh kembang buah hati bukan televisi. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk selalu mengawasi dan memperhatikan perkembangan anaknya. Hal-hal sekecil apapun harus bisa diantisipasi oleh setiap orang tua mengenai pengaruh yang akan ditimbulkan, khususnya dari pemilihan tayangan film. 

Sejalan dengan misi Lembaga Sensosr Film (LSF) yaitu Pertama , melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film. Kedua , secara arif turut mempersiapkan masyarakat memasuki era perubahan dengan tetap menghargai nilai moral dan kultural bangsa. Ketiga , menjembatani keanekaragaman budaya, sehingga tercipta persepsi yang sama demi kesatuan dan persatuan bangsa, budaya sensor mandiri adalah bagian dari membangun “Awareness” (kepedulian) orang tua terhadap anak-anak untuk memberikan bimbingan pada saat anak menonton TV serta mendukung pilihan hiburan yang tepat bagi anak-anak.

Bentuk bimbingan orang tua lainnya bisa diwujudkan dengan melakukan Mediasi Orang Tua (Parental Mediation). Parental mediation adalah tindakan mendiskusikan, dan mengenali gagasan, citra, dan informasi dengan anak mengenai program televisi. Mediasi orang tua menjadi strategi efektif dalam upaya mencegah dampak negatif yang ditimbulkan televisi terhadap anak-anak.

1.  Active Mediation : Bentuk mediasi ini adalah saat orang tua mengajak anaknya terlibat dalam percakapan selama kegiatan menonton televisi. Orang tua bisa membicarakan tayangan yang sedang ditonton bersama lalu membahas bersama apa yang ditampilkan di televisi. Topik percakapan juga bisa mengenai topik-topik umum dan kegiatan sehari-hari. Dalam membicarakan tayangan, penting bagi orang tua untuk memiliki literasi media yang baik agar dapat memberikan panduan baik dan buruk secara tepat kepada anak dalam proses menonton televisi.

2. Restrictive Mediation : Bentuk mediasi ini ditandai dengan adanya batasan langsung dari orang tua terhadap pola menonton televisi anak. Orang tua memberikan batasan yang jelas dalam bentuk larangan kepada anak dalam kegiatan menonton televisi. Tayangan apa yang boleh ditonton, pukul berapa saja yang dapat dihabiskan untuk menonton televisi.

3.Coviewing : Orang tua menemani anak dalam kegiatan menonton televisi, namun tidak memberikan batasan ataupun melarang. Orang tua hanya hadir menemani anak. Dengan keberadaan orang tua mendampingi saat menonton televisi, anak akan merasa dibatasi dengan sendirinya. Anak akan menghindari tontonan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam keluarga.

Tingginya porsi anak berinteraksi dengan televisi dalam kesehariannya harus didukung oleh pola menonton televisi yang sehat. Menonton televisi yang sehat mencakup: batasan waktu menonton televisi, pemilihan tayangan yang tepat, serta pendampingan anak saat menonton televisi. Tidak semua acara yang disaksikan oleh anak merupakan program anak, sehingga orang tua harus berperan dalam menciptakan pola menonton televisi yang sehat bagi anak. 

http://www.ypph.org

 

REFERENSI :

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.