Rebranding Koperasi Dan Relevansi Filantropi ala Generasi Milenial
Menteri
Keuangan Sri Mulyani mengakui generasi milenial Indonesia terlahir sebagai aset
penggerak ekonomi di masa depan. Seperti dilansir katadata.co.id,
generasi milenial tersebut memiliki tiga karakter yang khas, yakni terkoneksi
dengan internet, memiliki kepercayaan diri tinggi, dan kreatif. Saat ini pemerintah mencari formula bagaimana ketiga karakter ini
menjadi aset yang berharga. Pemerintah ingin membuat 3C (connectivity, confidence, creativity)
ini menjadi potensi, bukan disaster, sehingga bisa menciptakan suatu aset yang
kreatif dan aktivitas ekonomi untuk menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Kedepan, sejumlah tantangan yang sekaligus menjadi peluang akan dihadapi
pemuda Indonesia. Salah satunya dengan telah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) pada tanggal 1 Januari 2016 dan era bonus demografi Indonesia yang
dimulai pada tahun 2020. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Saat itu, dua pertiga dari
seluruh penduduk Indonesia merupakan usia produktif. Melimpahnya jumlah
penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat
memacu pertumbuhan ekonomi ketingkat yang lebih tinggi. Dampaknya adalah
meningkatkannya kesejahteraan masyarakat s e c a r a keseluruhan. Namun bisa
berbalik menjadi bencana jika bonus demografi tersebut tidak dipersiapkan
kedatangannya. Dalam hal ini pemerintah harus mampu menciptakan kondisi, iklim,
dan kebijakan yang memastikan optimalisasi dari bonus demografi ini terlaksana
secara efektif.
Oleh karenanya kebijakan yang meningkatkan dan memperpanjang akses
pendidikan, penyediaan layanan kesehatan yang memadai, memudahkan masyarakat
untuk menabung, dan memudahkan tersedianya lapangan kerja akan membantu
Indonesia untuk mengoptimalkan momentum bonus demografi ini. Pada akhirnya,
bonus demografi ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
Koperasi sebagai
salah satu soko guru ekonomi Indonesia, selain perusahaan swasta dan BUMN,
merupakan lembaga yang paling tepat untuk mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi
menjelang bonus demografi. Pasalnya, falsafah dasar dari pendirian
Koperasi adalah dari anggota dan untuk anggota. 
Terbukti, koperasi tetap eksis ditengah badai krisis dengan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi dengan turut menciptakan lapangan pekerjaan dan pemerataan kesejahteraan.

Terbukti, koperasi tetap eksis ditengah badai krisis dengan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi dengan turut menciptakan lapangan pekerjaan dan pemerataan kesejahteraan.
Tidak sampai disitu. Mengemban amanah Nawacita, koperasi dituntut untuk dapat meningkatkan daya saing di pasar internasional. Organisasi ini pun dibebani untuk mengoptimalisasi sektor-sektor strategis ekonomi di domestik dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi. Bukan tanpa alasan mengingat Indonesia harus bisa maju dan bangkit bersama-sama dengan negara Asia lainnya. Sehingga peningkatan kelayakan, produktivitas, dan nilai tambah koperasi untuk “naik kelas” bertumbuh ke skala yang lebih besar dan berdaya saing global adalah sebuah hal yang mandatory.
Faktanya, kalangan Generasi Millenial saat ini banyak yang tidak mengetahui dan memahami mengenai hakekat dan pentingnya koperasi, sebagai salah satu bentuk ekonomi kerakyatan. Hal ini didorong oleh perubahan gaya hidup generasi milenial (zaman now) yang begitu cepat dan tidak menentu (disruptif), akibat perkembangan teknologi informasi, robotic, artifical intelligence, transportasi, dan komunikasi yang sangat pesat. Pola dan gaya hidup generasi milenial bercirikan segala sesuatu yang lebih cepat (real time), mudah, murah, nyaman, dan aman. Padahal banyak faedah dan keuntungan yang didapat daripada keanggotaan koperasi antara lain :
Keuntungan Ekonomi

barang atau jasa secara bersama-sama. Sehingga, biaya yang timbul menjadi lebih rendah




Keuntungan Sosial



Beranjak dari fenomena diatas, maka lembaga dan insan Koperasi sudah saatnya mentransformasi dan mereformasi dirinya untuk menata organisasi dan strategi bisnisnya sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEKS di era Industri 4.0. Koperasi yang kuat dan mandiri, diyakini akan mampu bersaing dengan korporasi besar dan perusahaan BUMN. Semangat menjadikan koperasi sebagai kekuatan bersama, dan gotong royong akan mampu bersaing serta cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Program Reformasi total koperasi disebut sebagai langkah awal rebranding. Rebranding sendiri memiliki makna merubah atau memperbaharui sebuah brand image yang telah ada agar menjadi lebih baik. Rebranding ini perlu dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada Koperasi. Tentunya dengan mengangkat nilai-nilai dan prinsipnya sebagai basis keunggulan dari generasi ke generasi. Koperasi harus dapat memenuhi sektor riil, profesional, mencakup usaha besar dan tidak ketinggalan zaman. Inilah yang dibutuhkan agar koperasi mampu bersaing dengan bisnis lainnya. Program ini diharapkan dapat memunculkan koperasi-koperasi berkualitas sehingga dapat membukakan mata generasi muda terhadap peran koperasi sebagai salah satu tulang punggung ekonomi nasional.
Reformasi koperasi pun harus melahirkan sistem koperasi sebagai organisasi yang kaya fungsi dan efisien serta ditunjang dengan manajemen yang profesional. Sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa modernisasi manajemen bisnis dan organisasi koperasi dengan berbasis IT menjadi sebuah keharusan. Harus disadari bahwa sudah saatnya diterapkan sistem aplikasi di koperasi, jaringan kerja serta konsolidasi bisnis jaringan koperasi yang terintegrasi dan reliable. Di samping itu, perlu dibentuk sistem yang mengakomodir standarisasi pengelolaan SDM yang meliputi diklat vokasional, training dan pendampingan yang fokus kepada core-business. Langkah reformasi koperasi tersebut pun harus substansial dan komprehensif. Dengan kata lain, strategi yang diterapkan harus menunjang koperasi yang memiliki keunggulan bisnis yang kompetitif.
Sementara, demi meningkatkan citra koperasi dimata generasi muda, adalah dengan pengejawantahan konsep filantropi yang kini intens menjadi perhatian generasi muda. Pendefinisian yang paling mutakhir filantropi adalah sebagai social investment (investasi sosial) di mana seseorang, sekelompok orang atau perusahaan bermitra dengan orang-orang yang dibantunya.
Kalau kita lihat dari konteks Indonesia, di situ ada konsep keadilan sosial yang menjadi falsafah hidup kita sebagai bangsa dan tercantum dalam salah satu sila dari dasar negara kita, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara kalau kita lihat pandangan-pandangan lain dari segi filosofis misalnya, Aristoteles mengatakan bahkan keadilan sosial adalah pembagian yang adil dalam masyarakat yang didasarkan atas pembagian kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Sekarang filantropi tidak lagi dilihat sebagai individu, tetapi juga dilihat sebagai suatu institusi yang bisa memberikan bantuan, sehingga muncullah istilah corporate philantropy.
Kontribusi filantropi sendiri terhadap pencapaian SDGs atau konsep pembangunan berkelanjutan saat ini cukup besar. Filantropi Indonesia telah berkomitmen untuk berkontribusi dan membantu pencapaian dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Apalagi, semua pencapaian di SDGs menjadi prioritas dari Filantropi Indonesia. Keamanan sosial juga diperlukan untuk pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut. Bisnis dan filantropi, telah 3 tahun lebih cepat memasuki pola pikir untuk membuat suatu tujuan pembangunan berjangka panjang, sumber bacaan baca disini
Konsep filantropi ini tentunya sangat relevan dengan fungsi dan
peranan Koperasi yang dijabarkan dalam Undang-undang No. 25 tahun 1992 yaitu
: mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya
mempertinggi kualitas kehidupan manusia, memperkokoh perekonomian rakyat,
mengembangkan perekonomian nasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa
berorganisasi bagi pelajar bangsa.
Kabar gembiranya, diantara serbuan modernisasi dan budaya pop
instant, dalam 5 tahun terakhir peran dan keterlibatan kaum muda dalam
kegiatan filantropi justeru meningkat secara signifikan. Sebagian mereka
mendirikan yayasan atau organisasi berbasis komunitas untuk mengembangkan
berbagai program sosial yang menjadi minat atau perhatiannya. Sebagian lainnya
menjadi pendukung, volunteer dan donatur di berbagai organisasi sosial.
Keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi ini merubah peta
dan pola filantropi di Indonesia. Filantropi tak lagi identik
dengan aktivitas kedermawanan “orang tua” atau “orang kaya”
yang bisanya dilakukan di hari tua atau menjelang
pensiun. Filantropi juga tidak lagi identik dengan kegiatan
kedermawanan dalam bentuk pemberian donasi untuk
kegiatan keagamaan, penanganan bencana, penyantunan dan pelayanan sosial.
Dalam sejumlah studi, ditemukan bahwa salah satu karakter dan kultur generasi millenial ini adalah memiliki kepedulian pada isu-isu sosial kemanusiaan, mereka senang berbagi kepada sesama. Generasi millenial tumbuh di bawah asuhan budaya (social sharing) yang tinggi. Temuan ini adalah fakta menarik bagi pegiat kemanusiaan dalam menggalang donasi. Bahwa generasi millenial perlu didekati dengan inovasi. Menggalang charity dari entitas millenial, berarti memperluas spektrumnya kemanusiaan. Temuan ini adalah fakta menarik bagi pegiat kemanusiaan dalam menggalang donasi. Bahwa generasi millenial perlu didekati dengan inovasi. Menggalang charity dari entitas millenial, berarti memperluas spektrumnya kemanusiaan.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, para muda kreatif tersebut tidak hanya sekedar ingin terlibat dalam kegiatan filantropi dengan memberikan donasi, tapi juga memanfaatkan potensi dan kapasitasnya untuk mengembangkan dan mempertajam inisiatif sosial yang dilakukan. Generasi millenial ini memperluas bentuk kontribusi atau sumbangannya menjadi 6 bentuk, yakni pengetahuan/keterampilan, waktu, voice (suara/aspirasi), jaringan, cinta (kinesthetic ability) dan dana. Dengan menggabungkan 6 bentuk pemberian itu, generasi millenial tidak hanya melihat filantropi sebagai kegiatan sosial, tapi sebagai investasi sosial yang berdampak luas dan berkelanjutan. Mereka juga memandang keterlibatannya dalam kegiatan filantropi sebagai investasi bagi pengembangan karakter dan kapasitasnya untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.
Dalam sejumlah studi, ditemukan bahwa salah satu karakter dan kultur generasi millenial ini adalah memiliki kepedulian pada isu-isu sosial kemanusiaan, mereka senang berbagi kepada sesama. Generasi millenial tumbuh di bawah asuhan budaya (social sharing) yang tinggi. Temuan ini adalah fakta menarik bagi pegiat kemanusiaan dalam menggalang donasi. Bahwa generasi millenial perlu didekati dengan inovasi. Menggalang charity dari entitas millenial, berarti memperluas spektrumnya kemanusiaan. Temuan ini adalah fakta menarik bagi pegiat kemanusiaan dalam menggalang donasi. Bahwa generasi millenial perlu didekati dengan inovasi. Menggalang charity dari entitas millenial, berarti memperluas spektrumnya kemanusiaan.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, para muda kreatif tersebut tidak hanya sekedar ingin terlibat dalam kegiatan filantropi dengan memberikan donasi, tapi juga memanfaatkan potensi dan kapasitasnya untuk mengembangkan dan mempertajam inisiatif sosial yang dilakukan. Generasi millenial ini memperluas bentuk kontribusi atau sumbangannya menjadi 6 bentuk, yakni pengetahuan/keterampilan, waktu, voice (suara/aspirasi), jaringan, cinta (kinesthetic ability) dan dana. Dengan menggabungkan 6 bentuk pemberian itu, generasi millenial tidak hanya melihat filantropi sebagai kegiatan sosial, tapi sebagai investasi sosial yang berdampak luas dan berkelanjutan. Mereka juga memandang keterlibatannya dalam kegiatan filantropi sebagai investasi bagi pengembangan karakter dan kapasitasnya untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.
Inisiatif sosial kemanusiaan dan
pemberdayaan yang dilakukan kaum muda ini jika digarap serius sejatinya
menjadi peluang emas bagi pengembangan koperasi dimasa depan. Melalui
komunitas jaringan dengan memanfaatkan tekonologi
informasi dan budaya pop, para filantrop milenial yang lahir dari
berbagai latar belakang enterpreuneur, ahli IT, pekerja seni dan pegiat sosial
diharapkan dapat menjadi kepanjangan tangan koperasi dalam mengemas program
koperasi agar terlihat lebih populer, menyenangkan serta mengandung aspek
pemberdayaan ekonomi. Sehingga mereka dan para millenial lainnya kelak akan
menjelma sebagai seorang tech savvy, wirausahawan,
berpendidikan dan berpikiran independen yang terdorong untuk “berbuat
baik.”
Benar, perubahan merupakan suatu kepastian. Tetapi,
koperasi sebagai organisasi jika mampu mengantisipasi perubahan lebih cepat, serta mampu
melakukan adjustment kapabilitas, resource dan strategi dengan
melakukan stretching terhadap perubahan tersebut akan menjadi pemenang
setiap kompetisi.
Leave a Comment