Mengelaborasi Tafsiran Sejarah Banten Dalam Perspektif Global
Diskursus tentang Banten dalam konteks
era masa lalu maupun masa kini sepertinya menjadi tema yang menarik untuk
didiskusikan. Faktor kemenarikan tersebut dapat dilihat dari perspektif makna
dan peran maupun bagaimana kiprah Banten dalam perkembangannya di tatar Pasundan.
Bandar Banten pada abad ke-16 sampai 19
merupakan salah satu bandar Nusantara yang bertaraf internasional. Bukti-bukti
sejarah dan arkeologi di Situs Banten memberikan bukti kuat, bahwa badar Banten
memagang peran cukup besar dalam dunia perniagaan. Letaknya yang strategis,
antara Malaka dan Gresik, telah menjadikannya sebagai salah satu bandar
internasional yang berpengaruh di Nusantara baik secara sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun agama.
Puncak keemasan dan kejayaan Banten
terletak pada kebijakan ekonomi dan politik penguasa, demikian salah satu hasil
kajian sejarawan Prancis Claude Guillot tentang Banten dalam karya apiknya Banten, Sejarah
dan Peradaban Abad X-XVII yang digali dari khazanah arsip Belanda. Secara umum, buku ini membicarakan tiga topik
utama, yaitu banten sebelum kedatangan Islam, komponen- komponen dari
masyarakat Banten zaman Islam melalui tata perkotaan, perjuangan-perjuangan
merebut kekuasaan dan terikatnya Banten pada dunia agraris, dan yang terakhir
hubungan Banten dengan pihak-pihak asing.
Dari sejarah itu, tercatat seorang
waliraja bernama Ranamanggala. Ia memerintah Banten pada 1609, setelah merebut
kekuasan dari tangan oligarki tengkulak dan pedagang, yang berniaga dengan para
saudagar Persia, Gujarat, Malabar, Keling, Pegu, China, Turki, Arab, Abysinia,
Portugis, Inggris, Denmark, Prancis, Belanda. Ia memerintah hingga dimakzulkan
pada 1624, oleh persekongkolan para pedagang asing itu, yang dirugikan oleh
kebijakan politiknya.
Memang, kemakmuran Banten berasal dari
hasil perdagangan lada dan perniagaan antar bangsa yang telah diletakkan dasarnya
oleh para penguasa Hindu-Budha. Pemerintahan Islam melanjutkannya dan
mengandalkan lada sebagai sumber utama ekonomi masyarakat dan pemerintah.
Dari Rahim Banten pula lahirlah
pembesar termasyur. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), seorang pemimpin besar.
Ia melanjutkan visi agraris Ranamanggala dalam skala lebih luas. Ia
memerintahkan setiap orang menanam 100 pohon kelapa — pohon yang dari akar
hingga daunnya memberikan kehidupan—di pinggiran Sungai Cisadane.
Dapat dikatakan, Ranamanggala dan
Sultan Ageng adalah dua figur visioner yang mencoba ”meredam” keserakahan
lautan materialisme, dengan solusi ”kembali ke tanah,” yang lebih kalem dan
kontemplatif. Harus juga dikatakan, mereka adalah ”bapak pembangunan” sejati,
yang tahu persis kebutuhan rakyatnya, dan memahami bahwa benteng pertahanan
negara yang utama adalah: ketahanan pangan.
Yang menarik, masa keemasan Banten di
bawah Sultan Ageng Tirtayasa ini memperlihatkan beberapa pelajaran penting bagi
pemangku kepentingan saat ini:
Pertama, menjadi seorang pemimpin tidaklah tercipta dalam
waktu singkat. Tidak asal sulap langsung jadi. Ia lahir dari hasil tempaan yang
panjang. Sebelum memerintah Banten, Sultan Ageng menemani kakeknya, Sultan Abul
Mafakhir Abdul Kadir, dan ayahnya, Sultan Abul Maali Ahmad, dalam pemerintahan.
Ia ikut serta dalam memecahkan berbagai persoalan dan masalah politik. Insting
politiknya sudah terasah sejak muda. Dihargai oleh para pembesar kerajaan yang
menaruh harap besar padanya dan dicintai rakyat yang percaya akan komitmennya
menyejahterakan nasib mereka.
Kedua, keberhasilan seorang pemimpin ditopang oleh
orang-orang kepercayaan dan para pembantu dekatnya. Sultan Ageng dibantu oleh
Perdana Menteri yang amat setia dan kuat: Ki Arya Mangunjaya. Dialah arsitek
dan otak keberhasilan pemerintahan Sultan Ageng dalam menjadi stabilitas
politik dan keamanan. Ia juga dibantu oleh Menteri Perekonomian yang jitu,
dialah Ki Ngabehi Cakradana, orang Cina yang masuk Islam dan punya nama Abdul Gafur.
Di tangannyalah, ia menerapkan reformasi ekonomi Banten. Ia menjalin kembali
hubungan ekonomi yang telah lama terputus dengan Cina. Membuat kebijakan di
pelabuhan Banten yang adil dan tegas. Arsitek kota yang merubah Banten menjadi
kota metropolis. Ia tak henti-hentinya membangun ekonomi Banten.
Ketiga, keberagamaan pemimpin memengaruhi masyarakat.
Sultan Ageng berupaya membantenkan Islam, sementara Sultan Haji ingin mengarabkan
Banten. Sultan Ageng menjunjung nilai dan adat setempat, sementara sang anak
dihinggapi perasaan inferioritas terhadap kebudayaan luar, sehingga perlu
mengadopsinya. Setelah pulang dari Mekkah, Sultan Haji berpakaian ala orang
Arab dan memerintahkan masyarakat Banten memakai jubah dan sorban seperti
dirinya. Ayahnya resah dengan sikap anaknya yang dinilai menumbuhkan
nilai-nilai fundamentalisme. Yang pertama mendapat simpati masyarakat, yang
kedua memperoleh antipati.
***
Sepanjang usianya, Banten terus
mengalami dinamika, gejolak, termasuk kebimbangan menentukan arah jalan.
Semenjak provinsi ini berdiri pada tahun 2000, dua unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yaitu eksekutif dan legislatif seakan belum menemukan
kemana arah jalan pembangunan Banten.
Pemberlakuan
desentralisasi/otonomi daerah Banten masih dibayangi sejumlah kendala transparasi, partisifasi aktif dan kontrol sosial bagi segenap lapisan
pembangunan. Peningkatan partisifasi, kepedulian dan kontrol sosial akan
bermuara pada pencapaian target – target pembangunan yang prestatif dan
berkelanjutan.
Untuk menjawab problematika pelaksanaan
desentralisasi, ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan, antara lain
membangun komitmen jelas antar pemangku kepentingan berkenaan pelaksanaan
otonomi daerah, mendorong implementasi good
governance, penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, adanya
political will, mewujudkan
harmonisasi hubungan pusat dan daerah, serta konsistensi pemerintah dalam
mengendalikan gejala pemekaran wilayah.
Dalam
ranah ini, Penetapan identitas lokal dalam konteks penguasaan wilayah bukan
semata-mata praktik romantisasi masa lalu dalam pandangan esensialis, namun
sebagai cara paling praktis dan mudah dalam mengklaim kepemilikan kekayaan
kultural. Karenanya, pembentukan identitas lokal lebih sebagai strategi
resitensi dalam menghadapi kekuatan global.
Dengan demikian, mengkaji masa lampau
Banten merupakan keniscayaan ketika kita menghadapi gempuran global dengan
segala eksersis geopolitik dan ekonomi, yang konon membawa nilai-nilai
universal, tetapi faktanya universalisme itu hanya ‘pembaratan’ entitas lokal.
Maka, mengungkapkan elemen kearifan lokal adalah suatu upaya memahami apakah pemerintah
dan elemen masyarakat Banten telah melakukan pembaharuan sendiri pada setiap
periode sejarah, lalu mempertanyakan apakah cermin sejarah itu memantulkan
berbagai local genius (gagasan, perilaku dan karya) yang bernilai positif dalam
menghadapi berbagai tantangan global.
Leave a Comment