Dari Batu Bersurat,Tersirat Pesan : Mari Selamatkan Bumi Dari Sampah Makanan

 

“Kemakmuran!” demikian kata pembuka isi Prasasti Talang Tuwo yang diterbitkan oleh raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada 23 Maret 684 Masehi. Kemakmuran yang tidak sekadar kata atau janji sang maha raja, melainkan suatu  tindakan nyata yang dilakukan penguasa Sriwijaya tersebut untuk membahagiakan semua makhluk yang hidup di muka bumi.

Dalam prasasti tersebut disebutkan, harmonisasi kehidupan bukan hanya hubungan antar manusia dengan manusia, tapi juga manusia dengan keluarganya, manusia dengan alam, manusia dengan hewan, manusia dengan alam semesta antar galaksi dan terakhir menjadikan manusia itu bersatu dengan alam.

Artinya, guna mencapai kemakmuran, manusia harus memperlakukan alam atau lingkungan secara baik.

Bukti sejarah prasasti ini  juga memuat peristiwa pembangunan Taman Sriksetra atas perintah raja. Di taman itulah ditanam berbagai tumbuhan seperti  pohon kelapa, pinang, aren, sagu,  bambu haur, wuluh dan sebagainya dilengkapi dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolam.

Sebelumnya kata yang sama tersebut ditemukan pula pada Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 16 Juni 682 Masehi ketika sang raja mengadakan perjalanan suci dari Minanga Tamwan dan sampai di ibukota kerajaan beliau meletakan batu pertama pembangunan   permukiman (vanua) baru.

Begitulah, bila dirunut dari berbagai sumber yang sahih mengatakan awal mula penemuan batu prasasti ini. 17 November 1920, seorang petani asal Dusun Meranjat, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Alwi Lihan  tengah menggarap kebun di Hutan Adat Talang Tuwo. Hutan adat milik marga Talangkelapa kala itu masuk keresidenan Palembang, dan tanpa sengaja petani tersebut melihat ‘batu bersurat’ yang belakangan diketahui merupakan prasasti Talang Tuwo.

Sebagai informasi, dulunya Talang Tuwo merupakan hutan adat milik marga Talangkelapa. Sebagai hutan adat, lahannya bukan dijadikan pertanian dan perkebunan oleh masyarakat seperti sekarang ini, melainkan sebagai hutan rimba untuk hidup beragam satwa.

Kembali lagi, prasasti Talang Tuwo tentunya bisa menjadi titik balik bagi kita yang hidup di era modern dengan segala problematikanya, utamanya terkait kerusakan alam dan berbagai bencana yang datang silih berganti.

Dari Prasasti Talang Tuwo pula, kita akan banyak belajar tentang tata kelola, tata ruang dan tata manfaat. Ketika hutan masih bagus, sungai masih mengalir jernih, hewan  beraneka rupa, bukan perintah mengeksplorasi yang dilakukan raja Sriwijaya tapi menatanya dan dimanfaatkan untuk kemakmuran. Dan itu semua terkait hukum alam sudah di pikirkan oleh leluhur kita 7 abad lampau. Dimana manusia punya hak hidup, bumi juga punya hak hidup termasuk tanaman dan hewan.

Andai amanat itu dilaksanakan di zaman ini, alangkah bahagianya semua mahluk yang hidup di atas muka bumi. Tak ada kelaparan, tak ada tangis kesakitan, semua merangkai harmoni yang indah untuk kesejahteraan bersama.

Darurat Limbah Makanan

Tanpa tindakan segera, limbah global akan meningkat hingga 70 persen pada tahun 2050, begitulah kiranya menurut laporan Bank Dunia.

Perhatian penuh pada limbah berbahaya memang sering kali mengaburkan pandangan masyarakat bahwa semua jenis limbah pada dasarnya memiliki dampak yang merusak. Banyak pihak yang terlalu fokus pada pengolahan limbah berbahaya. Padahal jika dicermati kembali, jumlah limbah makanan yang jauh lebih besar juga memiliki potensi bahaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dalam laporan Food Wastage Footprint & Climate Change (2011), FAO memperkirakan setiap tahun jumlah makanan hilang dan sampah makanan mencapai sepertiga dari total produksi pangan global. Sampah makanan terjadi karena berbagai alasan lokal di tiap negara. Misalnya tingkat pendapatan, konsumsi, dan lain-lain.

FAO menyatakan sampah makanan turut mengakibatkan gas rumah kaca. Jumlah tersebut setara dengan 8 persen gas karbondioksida penyebab efek rumah kaca yang dihasilkan manusia. Atau, sekitar 87 persen dari emisi akibat transportasi darat seluruh dunia.

Ancaman dari limbah makanan bukan hanya berasal dari makanan sisa yang dibuang begitu saja. Ancaman tersebut bahkan sudah lahir sejak proses produksi.

1. Limbah Makanan Meninggalkan Bau Tidak Sedap

Salah satu pencemaran yang paling nyata dirasakan dari limbah makanan adalah bau menyengat hasil dari pembusukan. Bau busuk dari makanan sisa bisa menyebar dengan begitu mudahnya. Jumlah limbah yang begitu besar dan tersebar di setiap rumah tangga juga semakin meningkatkan ancaman dari limbah makanan.

2. Emisi Metana Limbah Makanan Turut Memicu Perubahan Iklim

Mungkin ini terdengar berlebihan. Namun perlu diketahui, karbon dioksida dan emisi metana dari limbah makanan sebenarnya merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca yang turut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim. Ini adalah fakta yang harus disikapi dengan serius layaknya menyikapi pengolahan limbah berbahaya.

Emisi metana ini tidak hanya berasal dari sisa makanan. Emisi tersebut juga berasal dari peternakan yang terus meningkatkan produksinya demi memenuhi kebutuhan manusia. Jadi dengan semakin banyaknya makanan yang dibuang begitu saja, semakin tinggi juga tingkat produksi di peternakan. Sebagai imbasnya, emisi metana yang dihasilkan akan semakin memperparah pencemaran lingkungan hingga mempengaruhi perubahan iklim di seluruh dunia.

3. Kerugian Materi yang Begitu Besar

Menurut data yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), setiap tahunnya, pemborosan makanan akibat dari pembuangan makanan sisa mencapai angka 1,6 miliar ton. Dari 1,6 miliar ton makanan sisa, sebanyak 1,3 miliar ton di antaranya sebenarnya masih layak konsumsi.

Sementara, berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh Biro Statistik Indonesia, di Indonesia jumlah limbah rumah tangga yang diproduksi setiap harinya mencapai 80.235 ton dengan 70-80% di antaranya tergolong sebagai limbah makanan. Dengan besarnya limbah makanan yang diproduksi setiap harinya, kerugian materi yang dialami tentu tidak bisa dibilang sedikit.


Terkait mengenai food print (jejak makanan) di Indonesia, cukup tinggi. Mengapa? Sekitar 49,3 persen produk pangan negeri ini, baik bahan mentah sampai pangan jadi dari luar daerah dan impor. Makanan yang dihadirkan dari tempat jauh akan menimbulkan food print lebih besar. Ini bisa berarti lebih banyak menggunakan energi untuk pengiriman hingga melepaskan karbon lebih banyak.

Untuk meminimalisir dampak food print dan energi yang terbuang percuma, kita bisa menggunakan bahan pangan lokal, bukan impor. Tak hanya itu, agar jarak tempuh dekat, kita pun bisa membeli bahan pangan yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal, misalnya di pasar tradisional terdekat. Dengan demikian, tak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi kita juga turut meningkatkan perekonomian lokal.

Begitu pentingnya isu sampah makanan ini terhadap perubahan iklim, PBB pun memasukkannya dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). 

Dengan menggunakan sejumlah skenario, Badan PBB untuk SDG berharap bisa mengurangi jejak karbon akibat sampah makan sebesar 38 persen tiap tahun.

Yang perlu diingat, di saat begitu banyak makanan yang terbuang atau sengaja dibuang, masih banyak saudara kita yang kekurangan pangan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 13,8 persen balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9 persen lainnya menderita gizi buruk. Fakta lain menyebutkan 34,74 persen rumah tangga di Indonesia masih memanfaatkan bantuan beras miskin (Raskin) dari pemerintah.

Karenanya, partisipasi aktif individu merupakan kunci meminialisir sampah pangan. Berikut kebiasaan sehari-hari yang bisa dilakukan untuk berpartisipasi mengurangi sampah pangan mengikuti prosedur 3R: Reduce, Reuse dan Recycle.



Pertama, bijak dalam mengkonsumsi makanan. Ambil makanan sesuai porsi dan kebutuhan gizi serta hindari menyisakan makanan yang tengah dikonsumsi.

Kedua, beli pangan lokal. Setiap pangan yang sampai di tangan kita harus melalui proses distribusi. Mulai dari tempat produksi ke tempat penyimpanan, lalu disalurkan ke supermarket, pasar hingga tukang sayur keliling dan proses ini memakan bahan bakar yang tidak sedikit.

Ketiga, simpan pangan secara tepat. Penyimpanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada tingkat keawetan suatu pangan. Bahan pangan harus disimpan dengan benar agar memiliki shelf life yang cukup lama dengan mencegah pembusukan. 

Keempat, kreatif dalam mengolah sisa bahan pangan. Jangan langsung membuang sisa-sisa bahan pangan yang sudah mulai layu atau menguning, dengan sedikit kreativitas semua itu bisa diolah menjadi campuran atau pelengkap suatu hidangan. 

Bandung Food Smart City

Salah satu pemicu timbulnya limbah pangan adalah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat kota. Dalam berbagai jamuan makan dan pesta, misalnya tuan rumah umumnya berprinsip lebih baik sisa daripada kurang. Dalam kehidupan kita sehari-hari, atas nama keramahan, tren, dan gengsi, makanan yang disajikan dalam berbagai acara cenderung berlebih. Begitu pula makanan yang disediakan di berbagai restoran dan hotel selalu berlimpah.

Jika pihak tuan rumah atau penyedia hidangan cenderung menyediakan dalam jumlah berlebih, di ujung yang lain acap kali atas nama sopan santun atau harga diri para tamu tidak menyantap secara tuntas makanan yang mereka ambil atau pesan.

Program Bandung Food Smart City merupakan wujud kolaborasi antara Rikolto veco, Fisip Unpar, dan Pemerintah Kota Bandung dalam rangka mewujudkan Bandung kota yang cerdas pangan serta mengurangi terjadinya food waste melalui berbagai program dan kegiatan yang dilakukan

Food Racing

Kampanye melalui games yang diberi nama “Food Racing” dan dilakukan di beberapa sekolah di kota Bandung.

Permainan ini pertujuan memberikan penyadaran terhadap kaum muda (kaum milenial) bahwa belanja makanan itu harus bijak dan memberikan penyadaran juga bahwa makanan yang tersisa di piring atau minuman yang tersisa di gelas minuman kalian itu berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar dan bahkan berdampak buruk bagi bumi.

Food Sharing

Tim Bandung Food Smartcity bekerjasama denga pemerintah kota Bandung dan Forum Badami hadir memberikan solusi yaitu mencoba membangkitkan rasa gotong royong warga di masa pandemi ini, dimana banyak orang yang membutuhkan uluran tangan tetapi banyak pula yang ingin menawarkan bantuan.

Badami Food Rescue sendiri adalah gerakan upaya penyelamatan surplus makanan, waste makanan dan donasi fresh makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga, restoran, hotel, cafe, bakery, catering dan industri makanan lainnya, untuk kemudian disalurkan kepada orang lain yang membutuhkan sehingga pada akhirnya dapat mengurangi jumlah sampah makanan.

Urban Farming

Mendukung program Kangpisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) yang digiatkan Pemerintah Kota Bandung melalui pendekatan bisnis urban farming atau pertanian kota, yaitu berupa pemanfaatan lahan, baik lahan tidur, ruang terbuka hijau, atau pemanfaatan lahan pekarangan dalam bentuk pot atau lahan kecil yang tersedia. 

Kegiatan ini memiliki tujuan :

  • Menyokong ketahanan pangan keluarga karena masyarakat dapat menyediakan sebagian pangan bergizinya sendiri, mudah dijangkau dan indah.
  • Menyokong ekosistem pangan lokal dan ekonomi masyarakat.
  • Meningkatkan pemasukan masukan masyarakat sekitar dengan program Urban Farming
  • Trauma healing, melatih kepekaan rasa dan menguatkan interaksi sosial.
  • Menghargai proses sehingga tidak mudah menyisakan makanan.
  • Menciptakan agen perubahan dan lapangan kerja.
  • Memenuhi tujuan ke 12 SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu, mereduksi sisa makanan dan memastikan bahwa setiap orang sadar gaya hidup yang berkelanjutan secara harmonis dengan alam.

Mulai Saat Ini Juga

Mulai saat ini kita semestinya lebih bersyukur terhadap rejeki yang Telah Tuhan berikan kepada kita berupa makanan yang bisa  kita nikmati setiap hari.

Caranya kita wujudkan dalam tindakan sehari-hari dengan upaya untuk mengurangi dan mendaur ulang sampah makanan. Hal ini dapat kita mulai dari diri kita sendiri, mulai sekarang. Salah satu caranya adalah tidak berlebihan dalam berbelanja makanan agar nantinya tidak ada yang terbuang percuma. Tindakan selanjutnya adalah tertib dalam menyimpan, mempersiapkan masakan dan mengkonsumsi makanan sebaik-baiknya. Terakhir adalah mengelola sampah makanan. Pengelolaannyaa dapat dilakukan dengan cara daur ulang menjadi kompos, biogas, pakan ternak atau produk yang bermanfaat lainnya.




 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.